Mohon tunggu...
Muhammad Zulifan
Muhammad Zulifan Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat Timur Tengah Dan Islam

Pengamat Timur Tengah dan Islam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gafatar, Bom Thamrin dan Keislaman Kita

26 Januari 2016   12:48 Diperbarui: 26 Januari 2016   15:19 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bak cendawan di musim hujan, kasus aliran sesat dan teror di Indonesia senantiasa muncul secara sporadis mengikuti musimnya. Sporanya telah terlebih dahulu menyebar dan mengendap di ruang-ruang lembab untuk kemudian muncul dan tumbuh mengagetkan mereka yang melihat.

Kasus terbaru, beberapa orang dilaporkan menghilang di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Tak sedikit yang hilang itu adalah tenaga medis dan dokter. Yang paling banyak diberitakan adalah hilangnya dr.Rica Tri Handayani dan anak balitanya. Di kemudian hari, diketahui bahwa dr Rica terlibat organisasi terlarang, yaitu Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).

Kasus Gafatar memenuhi etalase gerakan menyimpang di Indonesia setelah sebelumnya kasus-kasus aliran sesat seperti Jamaah Ahmadiyah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Agama Salamullah/Lia Eden, Aliran Kutub Robani, Isa Bugis, Islam Ingkar Sunah, Kelompok Husnul Huluq, NII KW IX Pontren Alzaytun Indramayu, Darul Islam (DI Fillah), Wahidiyah, Al-Qiyadah Al-Islamiyah berlangsung marak. Entah aliran apalagi yang akan muncul ke permukaan nantinya.

Sekilas Gafatar

Gafatar adalah transformasi dari gerakan Al-Qiyadah Al-Islamiyyah pimpinan Ahmad Moshaddeq yang sempat heboh pada 2007 silam. Ahmad Moshaddeq sendiri telah divonis oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan hukuman empat tahun penjara.

Pascapelarangannya oleh pemerintah pada tanggal 12 September 2009, Al-Qiyadah Al-Islamiyyah mengganti baju menjadi Komunitas Millah Abraham. Dengan berganti nama menjadi Millah Abraham, akhirnya mereka bisa leluasa bergerak dan mengembangkan organisasinya di seluruh Indonesia meski ajarannya tetap sama; mengikuti ajaran Ahmad Moshaddeq.

Selanjutnya pada 26 April 2012, mereka kembali berganti nama dari Millah Abraham menjadi Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara). Dengan nama baru ini, mereka melakukan kegiatan sosial di mana-mana di seluruh Indonesia. Gafatar pada intinya masih tetap mengikuti ajaran yang bersumber dari Ahmad Moshaddeq.

Ajaran Gafatar bisa kita rujuk melalui buku asli tulisan Ahmad Moshaddeq yang berjudul "Eksistensi dan Konsekuensi Sebuah Kesaksian dan Al-Masih Al-Mau’ud & Ruhul Qudus dalam Perspektif Taurat, Injil, & Al-Qur`an". Ajaran Gafatar juga bisa kita rujuk dari buku yang ditulis ketua umumnya sendiri, Mahful Muis Hawari, yang berjudul "Teologi Abraham Membangun Kesatuan Iman, Yahudi, Kristen dan Islam".

Beberapa ajaran Gafatar yang dianggap menyimpang adalah mereka tidak mengakui Muhammad sebagai nabi terakhir. Mereka juga tidak wajib menunaikan ibadah haji dan melaksanakan salat Jumat berjemaah di masjid. Gafatar mengakui, generasi setelah Nabi Muhammad adalah Ahmad Musadek. Ia diakui datang ke dunia sebagai utusan Tuhan.

Karenanya, MUI telah menetapkan kesesatan kelompok ini. Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin menyatakan, "MUI juga sudah mengeluarkan fatwa, bahwa kelompok ini masuk kategori aliran sesat dan menyesatkan. Gafatar ini ternyata ada tali temali dengan sebuah gerakan yang beberapa tahun lalu menyebut Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang dipimpin oleh seorang Ahmad Musadeq yang mengaku sebagai nabi baru," terangnya (detik.com, 13/1/2016).

Dalam menyebarkan ajarannya, kelompok ini mengadakan berbagai kegiatan sosial, seperti donor darah, sunat massal, aksi bersih lingkungan, hingga memberikan modal usaha dan pupuk untuk pertanian. Adalah wajar, jika mereka mudah merekrut anggota.

 

Kriteria Aliran Sesat Menurut MUI

Perlu diingat bahwa tidak sembarang orang bisa menfatwa sesat sebuah organisasi/aliran. Pada 2007 silam, MUI telah mengeluarkan 10 kriteria aliran sesat. Suatu paham atau aliran keagamaan dapat dinyatakan sesat apabila memenuhi salah satu dari sepuluh kriteria tersebut. Kesepuluh kriteria itu adalah:

  1. mengingkari Rukun Iman dan Rukun Islam;
  2. meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai Dalil Syar`i (al-Qur`an dan As-Sunah);
  3. menyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur`an;
  4. mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Al-Qur`an;
  5. melakukan penafsiran Al-Qur`an yang tidak berdasarkan kaidah tafsir;
  6. mengingkari kedudukan Hadist Nabi sebagai sumber ajaran Islam;
  7. melecehkan dan atau merendahkan para Nabi dan Rasul;
  8. mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir;
  9. mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah; dan
  10. mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar`i. \

Namun, perlu ditekankan bahwa penetapan kriteria tersebut tidaklah dapat digunakan oleh sembarang orang dalam menetapkan kesesatan atas suatu aliran. Ada mekanisme dan prosedur yang harus dilalui dan dikaji terlebih dahulu.

Kemunculan aliran sesat serta pengulangan kasus serupa membawa sebuah pertanyaan. Sudah seriuskah pemerintah dalam menangani aliran-aliran menyimpang tersebut?

Berkaca dari daftar aliran dan organisasi sesat yang telah sekian lama dikeluarkan MUI (NII KW IX misalnya), hingga kini, jaringan mereka masih berkembang pesat. Sementara itu, banyak korban terus berjatuhan. Padahal, data dan siapa orang-orangnya mudah dilacak oleh polisi karena banyak mantan pemimpin dan anggotanya yang telah bertaubat.

 

Sikap Pertengahan

Pada suatu titik, kita perlu merenung untuk mereduksi kecintaan dan kecenderungan kita pada sebuah organisasi atau komunitas. Pun sebaliknya, kita perlu mereduksi rasa benci pada komunitas lain yang kita anggap sebagai rival. Sebab keduanya adalah sumber konflik dan kegaduhan di negara ini. Intensitas kita berada dalam sebuah organisasi mengakibatkan kadang tersilap untuk melihat kebenaran lain di luar sana.

"Pada suatu titik, kita perlu merenung untuk mereduksi kecintaan dan kecenderungan kita pada sebuah organisasi atau komunitas. Pun sebaliknya, kita perlu mereduksi rasa benci pada komunitas lain yang kita anggap sebagai rival."

Kecintaan yang berlebih pada komunitas sering menjadikan diri dan komunitas merasa paling benar. Tak jarang, kita sangat sensitif ketika orang lain mengkritik komunitas kita dan mengambil sikap perlawanan kepada mereka yang memberi masukan. Lebih lanjut, kadang satu komunitas kita bawa untuk membenci mereka yang kita anggap sebagai lawan ideologis. Akhirnya, terjadilah saling benci secara berjamaah yang menghasilkan aura negatif di setiap ruang medsos kita seperti saat ini.

Saya membayangkan, betapa indahnya ketika orang seperti Jonru, misalnya, tiba-tiba berhenti dari perdebatannya di medsos dan memilih untuk mengajak rivalnya seperti Ulil atau tokoh liberal lainnya untuk duduk ngopi bersama di sebuah kafe. Atau, tokoh Salafi seperti ustadz Firanda tiba-tiba mengajak makan bersama tokoh kyai NU di warteg.

Terkait ekstremisme, kesalahan mengambil sumber rujukan ditambah rasa cinta atau benci berlebihan pada suatu kelompok memegang faktor penting dalam kemunculan sikap ekstrem. Ibnu Qoyyim al-Jauziyah pernah mengingatkan bahwa penyebab utama kerusakan adalah karena kerusakan ilmu (Fasad al-Ilmi) dan kerusakan itikad baik (Fasad al-Qoshdi ). Kerusakan ilmu itulah yang menyebabkan kesesatan (adh-dhalal).


Itulah alasannya, mengapa logika kita akan sulit menerima mengapa orang-orang yang berpendidikan tinggi tetapi justru terjebak mengikuti aliran sesat. Logika kita juga sulit mencerna mengapa para pemuda rela direkrut menjadi pengantin bom bunuh diri untuk melakukan perbuatan konyol seperti ledakan di Thamrin baru-baru ini.

Banyak kasus ektremisme dan terorisme muncul akibat kesalahan dalam mengambil sumber rujukan, ditambah ketidakmampuan me-manage kecenderungan benci yang berlebihan. Rasa benci yang berlebihan pada suatu kelompok (Amerika Serikat, misalnya) bisa dimanfaatkan pihak-pihak tertentu menjadi sikap ektremisme melalui sebuah doktrinasi. Selanjutnya, mereka yang terindoktrinasi dimanfatkan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu melalui aksi teror dan bunuh diri. Karenanya, sikap pertengahan dalam beragama sangat diperlukan.

Seimbang dalam Mencintai Jamaah

Pada hakikatnya, setiap orang memiliki kecenderungan yang unik satu sama lain. Kecenderungan itu lahir dari interaksi dengan lingkungan, sahabat, guru, serta pengalaman empiris dalam melintasi track kehidupan. Karenanya, kita akan senantiasa mencari hal-hal yang nyaman dengan kecenderungan tersebut dan menganggap kecenderungan tersebut sebagai hal yang terbaik.

Yang perlu dijaga adalah jangan sampai kecenderungan cinta dan benci itu menjadi sesuatu yang ekstrem sehingga menjadi sikap menyalahkan pilihan orang lain, khususnya dalam perkara ijtihadiyah. Kita boleh menganggap pilihan kita yang paling tepat dan terbaik, tapi sisakan ruang di hati dan pikiran bahwa pilihan orang lain juga baik (dan mungkin) terbaik.

Kecenderungan pada organisasi atau jamaah, misalnya. Yang sulit adalah memelihara kecenderungan tersebut agar tidak berlebihan hingga muncul sifat ekstrim dan mudah menyalahkan pilihan jamaah orang lain, karena ini hanyalah persoalan ijtihadiyah. Tidak ada ijma' bahwa hanya organisasi atau jamaah tertentu yang benar.

Di sisi lain, agar dunia seimbang, kita juga selayaknya tidak terlalu curiga pada jamaah lain bahwa mereka beranggapan negatif pada pilihan kita. Berdasarkan pengalaman di lapangan, misalnya, kaum NU paling tidak suka dituduh banyak lakukan amalan bid'ah karena semua amalan mereka sudah didasarkan pada fikih empat madzhab. Pun demikian, sebaiknya orang NU juga jangan terlalu curiga bahwa jamaah lain sering beranggapan negatif kepada mereka.

Orang Salafi paling tidak suka dibilang wahabi dan suka mem-bid'ah-kan karena yang berperilaku seperti itu hanya sebagian. Pun sebaiknya, mereka hendaknya tidak mudah beranggapan bahwa jamaah selain diri mereka kurang shahih dalam beribadah. Bagaimanapun, setiap jamaah memiliki lembaga ulama dan ribuan doktor syariah masing-masing dan sama-sama diajar oleh ulama Haramain dan Timur Tengah lain.

Orang Muhammadiyah paling khawatir jika aset-aset mereka seperti masjid dan amal usahanya “direbut” organisasi jamaah lain hingga berusaha mem-protect sumberdaya mereka. Meski, warga Muhammadiyah yang menerima dakwah gerakan Islam lain tersebut tidak pernah merasa direbut karena semua terjadi secara sukarela dan mereka tetap menjadi pengurus muhammadiyah. Hanya saja, orientasi politiknya berbeda.

Orang Tarbiyah paling tidak suka dibilang berdakwah karena pamrih dan haus kekuasaan karena aktivitas politik adalah tuntutan syariat itu sendiri serta berstatus fardhu kifayah. Pun mereka hendaknya jangan terlalu curiga bahwa jamaah lain beranggapan demikian, karena yang beranggapan demikian hanyalah segelintir orang yang kurang bergaul secara sosial dan kurang piknik.

Lini media sosial senantiasa ramai oleh debat dan saling menyalahkan antar anggota organisasi jamaah. Kemudian, muncullah tokoh-tokoh tertentu yang intens melakukan perdebatan di medsos beserta para followers mereka. Sayangnya, seringkali aktivitas mereka digeneralisasi menjadi sebuah sikap jamaah. Padahal, mereka yang suka ribut di medsos tersebut hanyalah oknum yang masih perlu banyak belajar.

Memang, manusia pada dasarnya punya sifat ekstrim dan berlebih-lebihan. Karenanya Nabi ingatkan:

"Cintailah yang engkau cintai itu sekedarnya saja, sebab barangkali suatu hari dia akan menjadi orang yang engkau benci, dan bencilah yang tidak engkau sukai itu sekedarnya saja sebab barangkali suatu hari dia akan menjadi orang yang kamu cintai” (HR. Tirmidzi)

 

Artikel juga bisa diakses di: duniatimteng.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun