Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Tips Melawan "WarGad"!

24 November 2015   08:46 Diperbarui: 24 November 2015   10:59 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jurnalistik (journalistic) secara harfiah artinya kewartawanan atau hal-ihwal pemberitaan. Kata dasarnya “journal” yang artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day) atau “catatan harian” (diary). Istilah jurnalistik erat kaitanya dengan istilah pers dan komunikasi massa. Jurnalistik adalah seperangkat atau alat media massa dalam memproduk berbagai karya tulis wartawan.

Karenanya, belajar ilmu jurnalistik dan mengetahui perkembangannya pada saat ini termasuk bagian dari knowledge bagi bapak dan ibu guru dalam mendidik murid-muridnya. Manfaatnya jelas, wawasan dan kemampuan kian berkembang. 

Apa itu dunia kewartawanan, fungsi pers, dan apa manfaatnya (media massa) bagi masyarakat, bangsa, dan negara. 

Banyak teman menceritakan keluh-kesahnya menghadapi banyaknya wartawan gadungan (wargad) maupun LSM yang datang ke lingkungan tempat kerjanya. Ujung-ujungnya minta duit. Ada yang terang-terangan dan kasar (eksplisit), ada pula yang secara halus dengan alasan uang transportasi, memperbaiki sepeda motor yang rusak dan sebagainya.

Sebenarnya, sudah banyak pihak yang resah dengan maraknya wargad, organisasi profesi kewartawanan, seperti PWI, AJI, IJTI yang saya tahu saat ini pusing tujuh keliling memikirkan banyaknya wargad merusak citra pers di tengah masyarakat. Mereka pada umumnya memeras narasumber dengan berbagai cara, seperti menggertak dan mengancam dengan berlaku seperti preman atau bak polisi dan jaksa mengintrogasi penjahat/terdakwa.

Pernah satu ketika di Medan, Sumatera Utara, saya mengikuti diskusi dengan Dewan Pers dan di sana terungkap, bagaimana dampak keberadaan wargad dan koran-koran negatif (kuning) yang banyak beredar di tengah masyarakat saat ini. Sangat meresahkan dan tidak mendidik. Itu ditandai dengan banyaknya pengaduan dan keluhan dari masyarakat, terutama menyangkut penyalahgunaan profesi wartawan atau etika pers.

Saya mengutip pernyataan Ketua PWI Sumut M Syahril saat diskusi itu bahwa sejak pers Indonesia bebas dari belenggu Orde Baru, jumlah penerbitan media massa tak bisa dihitung lagi saat ini. Apalagi untuk mengetahui jumlah wartawan sehingga untuk menyebut jumlah wartawan sepertinya mustahil. ’’Hanya Tuhan saja yang tahu’’ karena siapa saja kini bisa membuat koran, bisa mengaku dirinya pemimpin redaksi, redaktur, wartawan dll. Namun mereka tidak punya kompetensi di bidang kewartawanan.

Kalau saya katakan ada100 ribu wartawan yang gentayangan, maka tidak sulit untuk menyebut 70 persen di antaranya adalah wartawan abal-abal alias wargad. Tidak punya koran tapi punya kartu wartawan. Apa kerjanya, ya mencari-cari kesalahan pejabat dan tokoh masyarakat untuk jalan memeras.

Lantas, apakah yang 30 persen lagi sudah bisa disebut wartawan profesional? Jawab saya: Tidak juga! Yang profesional benar jumlahnya hanya sedikit. Tak sampai 10 persen. Sisanya, walaupun mereka sudah lulus uji kompetensi yang disyaratkan Dewan Pers belum tentu semua memegang perinsip idealisme dan kejujuran karena tolok ukur persyaratan tes uji kompetensi yang diterapkan Dewan Pers saat ini masih sangat rendah.

Dan Tidak sulit mengelompokkan media massa positif dan negatif. Acuannya, lihat konten pemberitaannya, apakah menjalankan fungsi pers, memiliki agenda setting, menampung aspirasi masyarakat (rakyat). Hal itu dikelompokkan dua itu saja.

1. Media positif dalam arti menjalankan fungsi pers sesuai UU Pers No 40/1999. Informasi-informasinya mencerdaskan dan mendidik masyarakat, mengkritisi pemerintahan untuk kepentingan bangsa dan negara.

2. Media negatif dalam arti menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan (uang). Keberadaannya merusak tatanan kehidupan masyarakat, sarat pelanggaran hukum, merusak moral, dan agama.
Fenomena baru dunia pers di Indonesia saat ini ditandai dengan maraknya komersialisasi industri media dan penguasaan media oleh segelintir orang saja sehingga berdampak negatif. Kualitas isi berita media massa cetak maupun elektronik, termasuk online, menurun drastis karena kuatnya pengaruh pemilik modal dan pemasang iklan. Itu terlihat jelas dalam Pemilu (Pileg dan Pilpres) lalu.

Sehingga hampir pasti terjadi pelanggaran kode etik dan penyiaran saat Pileg dan khususnya pada ajang Pilpres lalu yang mengedepankan dua pasangan Capres dan Cawapres. Sayangnya, pengamat media, apakah media watch, juga Dewan Pers dll sepertinya kurang tanggap sehingga tidak berani tegas menindak media massa dan wartawan yang membuat kesalahan fatal atau melakukan dosa besar di bidang jurnalistik.
Jelas masyarakat (pembaca, pendengar, pemirsa) sangat dirugikan dengan pemberitaan yang ’’hantam kromo’’ dari media-media negatif. Sebab, publik setiap hari disuguhi informasi salah, berita fitnah, berita bohong, rekayasa data, membunuh karakter lawan-lawan politiknya.

Kalau saja kondisinya semakin menjadi-jadi pastilah produk jurnalistik semakin merosot dan berdampak buruk pada masa depan pers terutama loyalitas dan idealisme wartawan di era liberalisasi dan regulasi pers yang semakin padat modal dan ketatnya komersialisasi (persaingan bisnis) media saat ini dan di masa mendatang.

Berikutnya kelompok jurnalis yang positif dan negatif menjadi tiga sebagai berikut:

Pertama: Kelompok jurnalis yang sama sekali tidak menerima amplop. Benar-benar profesional. Walau diberi dengan ikhlas pun tetap ditolak. Walaupun kadang diambil tapi dilaporkan ke sekretariat redaksi (kantor) untuk dikembalikan keesokanharinya. Inilah jurnalis sejati, memiliki komitmen kuat, idealis, dan menjiwai profesinya. Liputannya pasti ditunggu masyarakat (pembaca) karena lengkap, kritis, mendidik masyarakat, dan sarat membela kepentingan rakyat tertindas (eksklusif).

Kedua: Kelompok wartawan yang kadang menolak dan kadang menerima amplop. Artinya, kalau beritanya ’’berbahaya’’ maka amplop ditolak, sebaliknya untuk berita-berita seremonial dan ’’release’’ amplopnya diambil. Liputan mereka pada umumnya biasa saja, cenderung kering dan membosankan karena kurang menjiwai profesinya yang sesungguhnya sangat mulia karena mendidik masyarakat dan pemerintahan.
Ketiga: Wartawan yang masuk kelompok ini hanya mengejar amplop semata. Mereka itulah nyang disebut para wargad. Kerjanya mencari-cari kesalahan narasumbernya sehingga keberadaannya meresahkan masyarakat dan merusak citra pers secara kasat mata. Liputan dan beritanya nol karena gayanya saja seperti wartawan benaran (tameng), bicaranya kasar, seperti mengintrograsi obyek sasarannya. Ujung-ujungnya minta duit.

Tips

Bahwa fenomena wargad ini takkan pernah berakhir tanpa keberanian masyarakat melawannya. Komponen masyarakat termasuk komunitas guru harus berani menolak dan melawan wargad.

Pertama, jangan larang atau lari ketika didatangi wartawan maupun bercirikan wargad. Sebagai pejabat publik tidak boleh menutup-nutupi informasi. Hadapi, beri penjelasan apa yang mereka minta.

Kedua, selesai menjawab pertanyaan, jangan beri mereka uang (apapun alasannya). Kalau berbaik hati, boleh katakan: ’’Tolong keterangan saya dikutip dengan baik dan lengkap. Besok kalau sudah dimuat akan saya ganti uang transportasi, atau bagian humas mendatangi anda sebagai ucapan terima kasih.

Ternyata, dari belasan wartawan/wargad yang datang –biasanya menjelang akhir pekan--hanya media yang besar dan resmi memuat berita. Artinya, selebihnya bisa dibilang wargad. Kalaupun benar berstatus wartawan mereka dari golongan CNN (Cuma Nanya-Nanya).

Tips berikutnya, bapak-ibu sebagai warga negara taat hukum bisa melakukan trik dan tips berikut ini:

1. Menanyakan langsung identitas mereka, termasuk menanyakan medianya, dan hasil karyanya selama ini. Kalau ragu telepon pemrednya.

2. Kalau masih ngotot juga –pertanyaan tak digubris, maka beranilah mempermalukannya dengan mengusirnya dari ruang kerja kita. Di sini anda perlu ’’beking’’ dari wartawan yang resmi. Sebut nama mereka satu per satu (maka sering-seringlah berteman dan berkomunikasi dengan jurnalis dari media mainstream atau pengurus PWI dan top organisasi wartawan lain di daerah masing-masing). --Cara lain mempermalukan wargad dengan menanyakan, siapa Ketua Dewan Pers saat ini, Kode Etik Jurnalistik (ada berapa pasal), atau tantang mereka menyebut definisi ’’hard news dan soft news’’ dan karya jurnalistik lainnya, dijamin mereka akan mundur teratur.

3. Tapi, kalau mereka masih tetap ’’ngeyel’’ segera adukan ke pihak berwajib. Artinya, anda juga harus dekat dengan rekan-rekan di kepolisian, catat HP-nya.Sikap dan keberanian anda mengadukan wargad merupakan dambaan PWI dan Dewan Pers agar profesi dan citra pers tidak semakin rusak di mata masyarakat.

Saya berharap semua elemen masyarakat cerdas melihat profesi wartawan, mana yang benar-benar wartawan dan wartawan abal-abal alias wargad. Karenanya masyarakat jangan mau digertak wargad, ditakuti, diintimidasi, tapi anda-anda juga jangan lakukan kesalahan melanggar hukum dan moralitas agar wargad tidak datang mengancam-ancam dan menjadikan anda ATM harian, mingguan atau bulanannya.

***

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun