2. Media negatif dalam arti menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan (uang). Keberadaannya merusak tatanan kehidupan masyarakat, sarat pelanggaran hukum, merusak moral, dan agama.
Fenomena baru dunia pers di Indonesia saat ini ditandai dengan maraknya komersialisasi industri media dan penguasaan media oleh segelintir orang saja sehingga berdampak negatif. Kualitas isi berita media massa cetak maupun elektronik, termasuk online, menurun drastis karena kuatnya pengaruh pemilik modal dan pemasang iklan. Itu terlihat jelas dalam Pemilu (Pileg dan Pilpres) lalu.
Sehingga hampir pasti terjadi pelanggaran kode etik dan penyiaran saat Pileg dan khususnya pada ajang Pilpres lalu yang mengedepankan dua pasangan Capres dan Cawapres. Sayangnya, pengamat media, apakah media watch, juga Dewan Pers dll sepertinya kurang tanggap sehingga tidak berani tegas menindak media massa dan wartawan yang membuat kesalahan fatal atau melakukan dosa besar di bidang jurnalistik.
Jelas masyarakat (pembaca, pendengar, pemirsa) sangat dirugikan dengan pemberitaan yang ’’hantam kromo’’ dari media-media negatif. Sebab, publik setiap hari disuguhi informasi salah, berita fitnah, berita bohong, rekayasa data, membunuh karakter lawan-lawan politiknya.
Kalau saja kondisinya semakin menjadi-jadi pastilah produk jurnalistik semakin merosot dan berdampak buruk pada masa depan pers terutama loyalitas dan idealisme wartawan di era liberalisasi dan regulasi pers yang semakin padat modal dan ketatnya komersialisasi (persaingan bisnis) media saat ini dan di masa mendatang.
Berikutnya kelompok jurnalis yang positif dan negatif menjadi tiga sebagai berikut:
Pertama: Kelompok jurnalis yang sama sekali tidak menerima amplop. Benar-benar profesional. Walau diberi dengan ikhlas pun tetap ditolak. Walaupun kadang diambil tapi dilaporkan ke sekretariat redaksi (kantor) untuk dikembalikan keesokanharinya. Inilah jurnalis sejati, memiliki komitmen kuat, idealis, dan menjiwai profesinya. Liputannya pasti ditunggu masyarakat (pembaca) karena lengkap, kritis, mendidik masyarakat, dan sarat membela kepentingan rakyat tertindas (eksklusif).
Kedua: Kelompok wartawan yang kadang menolak dan kadang menerima amplop. Artinya, kalau beritanya ’’berbahaya’’ maka amplop ditolak, sebaliknya untuk berita-berita seremonial dan ’’release’’ amplopnya diambil. Liputan mereka pada umumnya biasa saja, cenderung kering dan membosankan karena kurang menjiwai profesinya yang sesungguhnya sangat mulia karena mendidik masyarakat dan pemerintahan.
Ketiga: Wartawan yang masuk kelompok ini hanya mengejar amplop semata. Mereka itulah nyang disebut para wargad. Kerjanya mencari-cari kesalahan narasumbernya sehingga keberadaannya meresahkan masyarakat dan merusak citra pers secara kasat mata. Liputan dan beritanya nol karena gayanya saja seperti wartawan benaran (tameng), bicaranya kasar, seperti mengintrograsi obyek sasarannya. Ujung-ujungnya minta duit.
Tips
Bahwa fenomena wargad ini takkan pernah berakhir tanpa keberanian masyarakat melawannya. Komponen masyarakat termasuk komunitas guru harus berani menolak dan melawan wargad.
Pertama, jangan larang atau lari ketika didatangi wartawan maupun bercirikan wargad. Sebagai pejabat publik tidak boleh menutup-nutupi informasi. Hadapi, beri penjelasan apa yang mereka minta.
Kedua, selesai menjawab pertanyaan, jangan beri mereka uang (apapun alasannya). Kalau berbaik hati, boleh katakan: ’’Tolong keterangan saya dikutip dengan baik dan lengkap. Besok kalau sudah dimuat akan saya ganti uang transportasi, atau bagian humas mendatangi anda sebagai ucapan terima kasih.
Ternyata, dari belasan wartawan/wargad yang datang –biasanya menjelang akhir pekan--hanya media yang besar dan resmi memuat berita. Artinya, selebihnya bisa dibilang wargad. Kalaupun benar berstatus wartawan mereka dari golongan CNN (Cuma Nanya-Nanya).