Hanya saja, ketika kami sedang gamang sebagaimana demikian bukan berarti harus dituntun menjadi warga kota. Ada banyak alasan kenapa orang desa sebaiknya tidak serta merta menjadi warga kota.Â
Alasan terkuat adalah daya tampung kota yang belum tentu memadai. Terlebih kota besar dimana sudah "angkat tangan" jika terus menerima laju urbanisasi.Â
Alasan selanjutnya _menurut saya ini yang terpenting_ adalah ketidaksiapan mental pemuda desa untuk menjadi warga kota yang berdaya guna.Â
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kapasitas pemuda desa tidaklah sama dengan pemuda kota yang dibesarkan dalam kompleksitas dan keragaman pilihan. Bukan hal yang aneh jika banyak diantara kami belum memiliki identitas diri yang jelas pada usia remaja. Minim sekali contoh yang bisa diduplikasi kemudian menjadi idola dalam berkarya. Bahkan, pross imitasi diantara kami begitu lambat. Terkecuali, bagi orang yang rajin mengakses informasi dan berkontemplasi.Â
Bagi mereka yang terpapar informasi mungkin tidak akan terlalu susah menentukan pilihan. Jangankan telah ada internet dalam genggaman, bahkan tanpa internet pun warga yang rajin mengumpulkan data dalam otaknya tidak akan terlalu kesulitan ketika diharuskan menentukan pilihan.Â
Bahan untuk mengolah data lebih banyak bila dibandingkan orang yang kekurangan data. Asal Anda tahu, desa tidak menyajikan peristiwa yang layak disebut "data". Toh, kejadian di desa begitu-begitu saja. Andaikan mengumpulkan informasi hanya mengandalkan indera maka yang terindera tidaklah sebanyak bagaimana orang kota.Â
Bahkan, ketika informasi membludak kami pun kesulitan menentukan keputusan untuk mengambil langkah. Sejak kecil kami tidak diajarkan bagaimana mengolah informasi. Kegiatan berpikir menjadi hal yang "tabu". Cara belajar yang mengedepankan doktrinasi membuat anak muda di desa malas untuk berpikir.Â
Apabila malas berpikir maka malas pula untuk berkreasi, mencari peluang baru. Kecenderungan untuk "ikut-ikutan" lebih dominan.Â
Memang sih warga desa punya kecenderungan untuk guyub. Ketika satu orang _terutama orang terpandang_ melakukan sesuatu maka warga lain cenderung mengikuti. Namun, dalam desa peralihan hal demikian perlahan tidak berlaku.
Dalam desa peralihan, ada komponen industri yang memiliki karakter individualitas dan pembagian posisi. Manusia dituntut untuk melakukan sesuatu berdasarkan potensi. Masyarakat industri sangat menuntut peningkatan kapasitas diri.Â
Spesialisasi profesi inilah yang kurang dikenal dalam masyarakat rural tradisional. Warga sering dituntut melakukan hal yang sama dan rutin. Apabila musim tanam tiba, maka semua warga dari kelompok usia berbeda diharuskan terlibat. Apabila tidak ikut serta bekerja gotong royong maka dianggap sombong dan tidak tahu diri.Â