Mungkin Anda seperti saya, lahir, tumbuh dan hidup di sebuah daerah peralihan antara kota dan desa. Pandangan mata terkadang terasa kontras. Melihat ke sisi kanan masih ada hamparan sawah nan menghijau. Ketika melihat sisi kiri, pabrik dan perumahan dibangun tanpa ampun.Â
Atau, bisa saja itu salah satu hal yang dipikirkan oleh karyawan Anda, asisten rumah tangga atau saudara-saudara di kampung halaman. Silakan tanyakan kepada mereka. Siapa tahu apa yang mereka pikirkan memang sama dengan apa yang ada dalam benak saya.Â
Dalam pikiran, "sudah tidak sanggup menjadi warga desa yang serba tradisional, tetapi belum siap menjadi warga kota yang penuh dinamika." Gamang menentukan pilihan, hingga krisis identitas di usia yang seharusnya sudah menegaskan kapasitas.Â
***
Sebagaimana yang dimaklumi banyak orang, warga tradisional di pedesaan masih mengandalkan tanah/lahan sebagai cara untuk menjalani hidup. Ada cara yang bisa dilakukan apabila ketersediaan lahan mencukupi. Seorang anak tuan tanah, bisa dengan mudahnya membuka lahan perkebunan. Menanami lahan warisan orang tua dengan komoditas yang dibutuhkan pasar.Â
Bahkan, mudah saja menanami lahan dengan bibit kayu sengon. Tanpa perawatan khusus, maka bisa menjadi investasi untuk dinikmati hasilnya di kemudian hari.Â
Sambil menunggu tabungan habis, bisa ongkang-ongkang kaki.Â
Permasalahan akut timbul ketika seorang pemuda tidak punya lahan bahkan untuk sekedar membangun rumah. Begitulah ciri umum di desa peralihan, begitu banyak warga yang tak punya lahan. Populasi warga desa begitu banyak _dan semakin banyak_ sedangkan luas wilayah tentu tidak bertambah.Â
Apa yang harus kami lakukan?
Hendak bertani, tak ada lahan. Berniat buka usaha, tak punya modal.
Perlahan, Pemerintah mengajak investor untuk membuka perusahaan di desa. Lahan produktif dikorbankan menjadi lokasi pendirian pabrik. Saya pikir, memang itulah cara paling mungkin untuk menyediakan begitu banyak lapangan kerja. Desa peralihan (rural urban fringe) memang tidak cocok untuk dijadikan tujuan wisata. Alamnya tidak lagi asri karena peralihan fungsi. Kalaupun para pecinta lingkungan berteriak untuk menolak investasi yang merusak ekosistem, warga desa tidak punya banyak pilihan selain menyambut dan mendukung pendirian perusahaan.Â
Warga pun berbondong-bondong menjadi karyawan dari perusahaan yang baru berdiri. Kami, pemuda desa tanpa skill ya senang saja jika ada pabrik yang tidak mensyaratkan keahlian khusus. Modal kami hanyalah kemauan untuk bekerja karena kesempatan seakan didekatkan. Jika dibandingkan harus pergi ke kota maka bekerja di pabrik masih mending. Setidaknya bisa menghemat uang makan, uang kontrakan dan uang transport.
Andaikan pemuda di desa peralihan seperti kami tidak segera mendaftar menjadi buruh pabrik maka pilihannya adalah pergi ke kota. Sebuah kebiasaan sejak lama karena ketidaksediaan lapangan kerja.Â
Setelah di kota, ya bekerja apa saja. Berjualan di pinggir jalan atau karyawan supermarket pun, tidak masalah. Jika ibu-bapa punya biaya untuk menyekolahkan kami ke perguruan tinggi, maka menjadi mahasiswa dalam waktu 4-5 tahun. Setelah itu, kami berganti status menjadi warga kota karena bekerja, punya rumah dan berkeluarga di perkotaan. Pulang jika liburan atau lebaran. Itupun kalau masih ingat dengan tanah kelahiran dan handai tolan.Â
***
Ada hal yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini, yakni keberatan kami sebagai pemuda desa. Kami tidak ingin menjadi warga kota sepenuhnya. Sekaligus kami pun tidak sanggup lagi untuk menjadi warga desa yang serba tradisional.Â
Coba Anda bayangkan, Â jika kami harus bangun pagi kemudian memanggul cangkul di pundak. Kaki anak muda masa kini jarang dilatih untuk menapaki pematang sawah atau jalan setapak menuju kebun. Apalagi diharuskan mencari kayu bakar hingga ke hutan, ah sebuah pekerjaan yang melelahkan.Â
Desa peralihan bukanlah desa yang memegang teguh adat kebiasaan. Terlebih pemudanya. Asal Anda tahu, sejak kecil kami diwajibkan untuk menuntut ilmu di sekolah. Alasannya, agar kami tidak ketinggalan zaman. Namun, sekolah telah membuat kami menjadi warga yang meninggalkan perkara yang serba tradisional.Â
Kami warga yang ingin beralih dari hal yang serba tradisional, namun entah menuju ke mana. Apakah akan menjadi masyarakat industri yang kompetitif dan dinamis atau terdiam di jembatan yang menghubungkan dua peradaban nan berbeda dalam banyak hal.
Sayangnya, jembatan itu berada di atas sungai yang berarus sangat deras. Anggaplah itu sebuah arus zaman yang sulit dibendung.Â
Jika jembatan ini runtuh maka orang yang ada di atasnya bisa hanyut dan tenggelam. Tanpa ada pegangan. Kalaupun ada pegangan, misalnya akar pohon, akan sulit meraih saking derasnya arus zaman.Â
Hanya saja, ketika kami sedang gamang sebagaimana demikian bukan berarti harus dituntun menjadi warga kota. Ada banyak alasan kenapa orang desa sebaiknya tidak serta merta menjadi warga kota.Â
Alasan terkuat adalah daya tampung kota yang belum tentu memadai. Terlebih kota besar dimana sudah "angkat tangan" jika terus menerima laju urbanisasi.Â
Alasan selanjutnya _menurut saya ini yang terpenting_ adalah ketidaksiapan mental pemuda desa untuk menjadi warga kota yang berdaya guna.Â
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kapasitas pemuda desa tidaklah sama dengan pemuda kota yang dibesarkan dalam kompleksitas dan keragaman pilihan. Bukan hal yang aneh jika banyak diantara kami belum memiliki identitas diri yang jelas pada usia remaja. Minim sekali contoh yang bisa diduplikasi kemudian menjadi idola dalam berkarya. Bahkan, pross imitasi diantara kami begitu lambat. Terkecuali, bagi orang yang rajin mengakses informasi dan berkontemplasi.Â
Bagi mereka yang terpapar informasi mungkin tidak akan terlalu susah menentukan pilihan. Jangankan telah ada internet dalam genggaman, bahkan tanpa internet pun warga yang rajin mengumpulkan data dalam otaknya tidak akan terlalu kesulitan ketika diharuskan menentukan pilihan.Â
Bahan untuk mengolah data lebih banyak bila dibandingkan orang yang kekurangan data. Asal Anda tahu, desa tidak menyajikan peristiwa yang layak disebut "data". Toh, kejadian di desa begitu-begitu saja. Andaikan mengumpulkan informasi hanya mengandalkan indera maka yang terindera tidaklah sebanyak bagaimana orang kota.Â
Bahkan, ketika informasi membludak kami pun kesulitan menentukan keputusan untuk mengambil langkah. Sejak kecil kami tidak diajarkan bagaimana mengolah informasi. Kegiatan berpikir menjadi hal yang "tabu". Cara belajar yang mengedepankan doktrinasi membuat anak muda di desa malas untuk berpikir.Â
Apabila malas berpikir maka malas pula untuk berkreasi, mencari peluang baru. Kecenderungan untuk "ikut-ikutan" lebih dominan.Â
Memang sih warga desa punya kecenderungan untuk guyub. Ketika satu orang _terutama orang terpandang_ melakukan sesuatu maka warga lain cenderung mengikuti. Namun, dalam desa peralihan hal demikian perlahan tidak berlaku.
Dalam desa peralihan, ada komponen industri yang memiliki karakter individualitas dan pembagian posisi. Manusia dituntut untuk melakukan sesuatu berdasarkan potensi. Masyarakat industri sangat menuntut peningkatan kapasitas diri.Â
Spesialisasi profesi inilah yang kurang dikenal dalam masyarakat rural tradisional. Warga sering dituntut melakukan hal yang sama dan rutin. Apabila musim tanam tiba, maka semua warga dari kelompok usia berbeda diharuskan terlibat. Apabila tidak ikut serta bekerja gotong royong maka dianggap sombong dan tidak tahu diri.Â
Sayangnya, tidak setiap orang paham bahwa pembagian tugas lumrah adanya. Berdasarkan pengalaman saya, masih banyak orang tua yang tidak mengarahkan anaknya sesuai dengan minat dan bakat. Potensi alami manusia belum banyak diungkap. Mungkin karena tidak tahu apakah pengembangan diri dan potensi itu penting untuk sebuah profesi yang akan dijalani.Â
***
Upaya ke arah sana bukan tidak ada sama sekali. Sekolah kejuruan atau pun pelatihan kerja sudah sering digelar. Namun, ada hal yang dilupakan. Pemuda tidak diberi alasan kenapa spesialisasi itu ada. Tidak terbentuk pola pikir jika penjurusan dibutuhkan oleh masyarakat dalam cakupan yang luas. Bukan karena "disuruh-suruh" Pemerintah setempat.Â
Pemerintah hanyalah memberikan alternatif.Â
Warga pun bukanlah objk dari seabrek kegiatan pembangunan dari semua lini. Itu hanyalah serangkaian alternatif yang ditawarkan. Pilihan ada dalam pikiran setiap warga. Tentu memilih dengan motif yang berbeda.Â
Ketika saya berbicara tentang "warga" dalam perkara pembangunan di desa peralihan, hal yang dimaksud adalah semua orang yang memiliki kepentingan. Termasuk investor, warga kota yang jauh dari lokasi desa peralihan, karena semuanya akan terkena dampaknya andaikan kami tidak "ditangani" dengan baik.Â
Kemacetan, kesemrawutan kota tentu imbas dari pola mobilitas warga kota-desa tidak lancar. Apabila Anda tinggal di sebuah apartemen pada wilayah Jakarta Pusat, bukan berarti tidak terhubung dengan warga desa sama sekali. Makanan yang dikonsumsi dan pakaian yang dikenakan bukti jika kami ada untuk Anda. Atau, Abang ojek daring yang mengantarkan pesanan makanan cepat saji adalah warga desa yang sedang "mengadu nasib" di kota besar. Cek saja KTP-nya!
Maksud saya, siapa pun dan di manapun Anda, cobalah untuk menawarkan aneka alternatif pilihan bagi warga di desa peralihan. Transfer informasi dengan segala saluran menjadi hal yang kami butuhkan. Ketika alternatif banyak tersaji maka ilusi tentang kegemerlapan kota bukan lagi satu-satunya titik tujuan.Â
Ya, jika menjadi warga kota telah siap secara mental dan fisik, tidak apa. Lantas, bagaimana dengan orang-orang yang tidak pernah siap? Gagap kemudian malah menjadi korban dari kegamangan.Â
----------
Bahan bacaan:
Faisal Basri (2009). Lanskap Ekonomi Indonesia. Jakarta: Â Kencana.
ML. Jhingan (1993). Ekonomi Perencanaan dan Pembangunan. Jakarta: Rajawali Press.
M. Asrori (2008). Psikologi Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima.
Ristiyanti Prasetijo; John J.O.I Ihalauw (2005). Perilaku Konsumen. Jakarta: Penerbit Andi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H