Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Berita Aktual, Kenapa Tidak Viral?

21 Maret 2019   20:51 Diperbarui: 22 Maret 2019   09:20 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"Jangan percaya media mainstream...!", itulah komentar dari teman saya di Facebook ketika membagikan link dari Kompas mengenai kegiatan seorang politisi. Saya agak kaget dengan pernyataan itu.

Telisik punya telisik, ternyata pandangan politik dia mempengaruhi persepsi dia tentang media mainstream. Bahkan, ada lagi yang menyarankan saya untuk tidak percaya Kompas dengan alasan yang tidak bisa saya sebutkan di sini.


***


Saya masih percaya bahwa berita bisa membuat "tenang suasana" atau "keruh suasana". Media massa arus utama mempunyai peran besar untuk memilih dan memilah mana berita yang bisa membuat kegaduhan dan mana berita yang menambah pengetahuan.

Hanya saja, ketika "perang pengaruh" dalam pemberitaan ini terjadi maka masyarakat dikorbankan. Meskipun media massa dianggap pilar demokrasi tetapi berita tak berguna hanya mengundang frustasi. Kekecewaan masyarakat pada aparat yang sedang menjabat tidak bisa selalu menjadi bahan perbincangan tetapi malah menjadi sumber pertentangan.

Media arus utama (mainstream) tidak saya lihat sebagai rujukan utama dalam menyebarkan berita. Setidaknya, itu yang saya lihat di media sosial. Malahan, ada yang terang-terangan untuk tidak mempercayai media arus utama.

Masalah kepercayaan media arus utama ini bukan hanya mengenai benar atau salah suatu berita. Kepercayaan ini juga menyangkut "apa yang selayaknya menjadi berita".

Apabila suatu berita hanya sekedar membeberkan fakta, maka begitu banyak berita menjejali alam maya. Berita, buat saya, harus memiliki makna sehingga bisa membangkitkan semangat membangun bangsa.

Bangsa ini harus memiliki arah yang jelas dalam menempuh perjalanannya di dunia. Pikiran manusia Indonesia harus dipenuhi dengan solusi-solusi membangun negeri bukan hanya pengetahuan yang "asal tahu".

Saya orang yang percaya akan kebebasan pers tetapi tetap beretika. Etika ini tidak pernah dipelajari  oleh masyarakat awam untuk menyebarkan berita. Dalam kondisi seperti ini maka para wartawan menjadi pahlawan untuk meluruskan.

Media arus utama janganlah "menari-nari diatas penderitaan orang lain". Ketika begitu banyak derita yang dialami anak bangsa maka media jangan bersuka cita karena banyak bahan berita. Ayolah, penderitaan memang sebuah kenyataan tetapi bukan sekedar bahan pemberitaan.

Pikiran para wartawan bukanlah server komputer tempat menyimpan data semata. Pikiran para wartawan  harus memiliki jiwa empati bukan hanya mendapatkan royalti. Di ruang redaksi, mereka harus punya sikap "apakah ini sekedar berita untuk diketahui atau pengetahuan yang menjadi berita".

***

Tulisan saya ini sebagai bahan masukan kepada redaksi dan pemilik media arus utama (seperti Kompas). Walaupun tulisan tidak berdasarkan penelitian resmi tetapi setidaknya bisa menjadi bahan "renungan" bagi para jurnalis yang berusaha sekuat tenaga menyebarkan berita tetapi kurang mendapat sorotan mata.

Berita dari media mainstream seakan berbobot sama dengan berita dari media sosial yang disebarkan hingga viral. Entah apa yang dipikirkan pemirsa dalam menyikapi suatu berita, mungkin masih banyak yang menganggap dunia ini terdiri dua kutub saja yakni 'benar' dan 'salah'. Tidak ada jalur penengah.

Teman saya, seorang Mamah muda mengirim link Youtube yang "memberitakan" jika Menteri Agama mendukung LGBT. Berita ini menjadi kehebohan tersendiri karena lumayan mengaduk-aduk emosi.

Karena saya tidak langsung percaya, dicarilah berita mengenai hal ini. Didapatilah, klarifikasi Menteri Agama mengenai hal ini dari tempo.co.id. Uh, ternyata itu hanyalah persepsi yang dibangun oleh sebagian orang untuk tujuan tertentu.

Memperhatikan hal ini, saya merasa lucu. Kok, orang begitu gampang percaya pada akun medsos pribadi apalagi akun anonim.

Saya menjadi berpikir jika berita akhir-akhir ini begitu menjenuhkan. Semakin banyak pengetahuan dari media bukan membuat kita menjadi lebih dewasa. Malahan, serasa menjadi manusia yang 'mulai hilang rasa'.

Donald Michael pernah menyatakan bahwa suatu ironi besar dalam kebudayaan kita bahwa salah satu premis paling dasarnya --yaitu, semakin banyak informasi, semakin banyak ilmu pengetahuan dan semakin banyak pengetahuan , semakin besar untuk melakukan pengendalian-- telah terpatahkan.

Sebagai gantinya, kita malah menghadapi kenyataan tak terelakan: semakin banyak informasi telah menyebabkan semakin disadarinya bahwa segala sesuatunya tidak dapat dikendalikan. Informasi tentang perusakan lingkungan, kekacauan ekonomi, limbah beracun, keamanan nasional, keretakan rumah tangga atau terhuyung-huyungnya pendidikan sekolah, semuanya menunjukan arah yang sama; kita tidak mampu mengendalikan masyarakat kita, baik mengarahkannya secara informal atau mengaturnya secara formal, menuju masyarakat yang kita --dari kelompok apa pun-- inginkan.

Apa yang kemudian terjadi adalah: semakin banyak informasi, semakin kecil kemungkinan masyarakat mengabsahkan lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi yang dilukiskan informasi. Di satu pihak, informasi mengungkapkan tindakan-tindakan bodoh serta penyimpangan-penyimpangan dari tujuan, jika bukan malah tindakan-tindakan amoral dan ilegal; sementara di pihak lain, informasi memberikan alasan bagi munculnya interpretasi yang bertentangan tentang apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan, dengan demikian memperdalam kesimpulan: tak seorang pun benar-benar paham tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana mengendalikan situasi.

Ada "Pasukan Medsos" di Media Arus Utama

Apabila berita di media arus utama kalah pengaruh oleh media sosial maka harus ada upaya khusus demi tersebarnya sebuah berita. Saya suka berpikir jika sebuah berita tersebar luas maka bisa mempengaruhi kondisi masyarakat dimana menuju ke arah yang lebih baik. Pikiran masyarakat tidak usah dipusingkan dengan banyaknya informasi yang berseliweran tanpa "penyaringan" di meja redaksi.

Upaya khusus yang dimaksud adalah dengan menerapkan "cara-cara media sosial" menyebarkan beritanya. Entah bagaimana caranya, berita tak bermakna di media sosial bisa tersebar dalam waktu yang cepat. Media sosial begitu dekat dengan mata warga dunia maya, maka berita baik pun harus lebih didekatkan.

Media mainstream tidak hanya harus memperbanyak para juruwarta yang memburu berita tetapi ada juga penyebar berita. Apabila menyebarkan berita dengan cara biasa belum bisa mempengaruhi massa maka lakukanlah upaya luar biasa.

Sekali lagi, media massa sebagai penentu arah kehidupan bangsa.

Sumber:
kominfo.go.id
mediaindonesia.com
Donald N, Michael dalam Ziaduddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau Informasi, (Terjemahan), Mizan, Bandung: 1988.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun