"Jangan percaya media mainstream...!", itulah komentar dari teman saya di Facebook ketika membagikan link dari Kompas mengenai kegiatan seorang politisi. Saya agak kaget dengan pernyataan itu.
Telisik punya telisik, ternyata pandangan politik dia mempengaruhi persepsi dia tentang media mainstream. Bahkan, ada lagi yang menyarankan saya untuk tidak percaya Kompas dengan alasan yang tidak bisa saya sebutkan di sini.
***
Saya masih percaya bahwa berita bisa membuat "tenang suasana" atau "keruh suasana". Media massa arus utama mempunyai peran besar untuk memilih dan memilah mana berita yang bisa membuat kegaduhan dan mana berita yang menambah pengetahuan.
Hanya saja, ketika "perang pengaruh" dalam pemberitaan ini terjadi maka masyarakat dikorbankan. Meskipun media massa dianggap pilar demokrasi tetapi berita tak berguna hanya mengundang frustasi. Kekecewaan masyarakat pada aparat yang sedang menjabat tidak bisa selalu menjadi bahan perbincangan tetapi malah menjadi sumber pertentangan.
Media arus utama (mainstream) tidak saya lihat sebagai rujukan utama dalam menyebarkan berita. Setidaknya, itu yang saya lihat di media sosial. Malahan, ada yang terang-terangan untuk tidak mempercayai media arus utama.
Masalah kepercayaan media arus utama ini bukan hanya mengenai benar atau salah suatu berita. Kepercayaan ini juga menyangkut "apa yang selayaknya menjadi berita".
Apabila suatu berita hanya sekedar membeberkan fakta, maka begitu banyak berita menjejali alam maya. Berita, buat saya, harus memiliki makna sehingga bisa membangkitkan semangat membangun bangsa.
Bangsa ini harus memiliki arah yang jelas dalam menempuh perjalanannya di dunia. Pikiran manusia Indonesia harus dipenuhi dengan solusi-solusi membangun negeri bukan hanya pengetahuan yang "asal tahu".
Saya orang yang percaya akan kebebasan pers tetapi tetap beretika. Etika ini tidak pernah dipelajari  oleh masyarakat awam untuk menyebarkan berita. Dalam kondisi seperti ini maka para wartawan menjadi pahlawan untuk meluruskan.
Media arus utama janganlah "menari-nari diatas penderitaan orang lain". Ketika begitu banyak derita yang dialami anak bangsa maka media jangan bersuka cita karena banyak bahan berita. Ayolah, penderitaan memang sebuah kenyataan tetapi bukan sekedar bahan pemberitaan.