Pikiran para wartawan bukanlah server komputer tempat menyimpan data semata. Pikiran para wartawan  harus memiliki jiwa empati bukan hanya mendapatkan royalti. Di ruang redaksi, mereka harus punya sikap "apakah ini sekedar berita untuk diketahui atau pengetahuan yang menjadi berita".
***
Tulisan saya ini sebagai bahan masukan kepada redaksi dan pemilik media arus utama (seperti Kompas). Walaupun tulisan tidak berdasarkan penelitian resmi tetapi setidaknya bisa menjadi bahan "renungan" bagi para jurnalis yang berusaha sekuat tenaga menyebarkan berita tetapi kurang mendapat sorotan mata.
Berita dari media mainstream seakan berbobot sama dengan berita dari media sosial yang disebarkan hingga viral. Entah apa yang dipikirkan pemirsa dalam menyikapi suatu berita, mungkin masih banyak yang menganggap dunia ini terdiri dua kutub saja yakni 'benar' dan 'salah'. Tidak ada jalur penengah.
Teman saya, seorang Mamah muda mengirim link Youtube yang "memberitakan" jika Menteri Agama mendukung LGBT. Berita ini menjadi kehebohan tersendiri karena lumayan mengaduk-aduk emosi.
Karena saya tidak langsung percaya, dicarilah berita mengenai hal ini. Didapatilah, klarifikasi Menteri Agama mengenai hal ini dari tempo.co.id. Uh, ternyata itu hanyalah persepsi yang dibangun oleh sebagian orang untuk tujuan tertentu.
Memperhatikan hal ini, saya merasa lucu. Kok, orang begitu gampang percaya pada akun medsos pribadi apalagi akun anonim.
Saya menjadi berpikir jika berita akhir-akhir ini begitu menjenuhkan. Semakin banyak pengetahuan dari media bukan membuat kita menjadi lebih dewasa. Malahan, serasa menjadi manusia yang 'mulai hilang rasa'.
Donald Michael pernah menyatakan bahwa suatu ironi besar dalam kebudayaan kita bahwa salah satu premis paling dasarnya --yaitu, semakin banyak informasi, semakin banyak ilmu pengetahuan dan semakin banyak pengetahuan , semakin besar untuk melakukan pengendalian-- telah terpatahkan.
Sebagai gantinya, kita malah menghadapi kenyataan tak terelakan: semakin banyak informasi telah menyebabkan semakin disadarinya bahwa segala sesuatunya tidak dapat dikendalikan. Informasi tentang perusakan lingkungan, kekacauan ekonomi, limbah beracun, keamanan nasional, keretakan rumah tangga atau terhuyung-huyungnya pendidikan sekolah, semuanya menunjukan arah yang sama; kita tidak mampu mengendalikan masyarakat kita, baik mengarahkannya secara informal atau mengaturnya secara formal, menuju masyarakat yang kita --dari kelompok apa pun-- inginkan.
Apa yang kemudian terjadi adalah: semakin banyak informasi, semakin kecil kemungkinan masyarakat mengabsahkan lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi yang dilukiskan informasi. Di satu pihak, informasi mengungkapkan tindakan-tindakan bodoh serta penyimpangan-penyimpangan dari tujuan, jika bukan malah tindakan-tindakan amoral dan ilegal; sementara di pihak lain, informasi memberikan alasan bagi munculnya interpretasi yang bertentangan tentang apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan, dengan demikian memperdalam kesimpulan: tak seorang pun benar-benar paham tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana mengendalikan situasi.