Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benci Buku Karena Belajar Melulu Lewat Buku

7 Februari 2019   06:11 Diperbarui: 7 Februari 2019   06:18 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sayangnya, para sarjana, seperti Pak Sopyan, mendobrak kebiasaan belajar 'tradisional' dengan buku saja. Senantiasa menegaskan bahwa "buku adalah jendela dunia", sembari menapikan bahwa kata-kata bijak orang tua sudah tidak berguna. Itu jelas terasa oleh anak-anak yang belajar dari Paud hingga Perguruan Tinggi. Belajarnya menggunakan buku, sumber belajarnya pun melulu lewat buku.

Sekali lagi, buku bukan Kitab Suci, Kawan....!

Belajar Tidak Harus Selalu Dari Buku

Belajar bisa bersumber darimana saja. Manusia belajar memiliki tujuannya sendiri. Apabila setiap orang memiliki ide dan cita-cita sendiri maka akan berbeda pula sumber belajarnya.

Orang yang memiliki cita-cita jadi pengusaha sukses sepertinya sulit apabila belajar hanya dari buku saja. Dalam dunia perdagangan, ada banyak hal yang tidak tertulis dalam buku. Mempraktekannya, bisa membuat dia lebih mengerti akan dunia yang dia jajaki.

Bagi seorang pedagang, buku akan menjadi sumber rujukan apabila dianggap perlu. Dia akan 'penasaran' akan apa yang tidak dia ketahui demi kemajuan usahanya. Apabila dianggap perlu, dia akan membuat buku sendiri dan menyebarkannya kepada orang lain.

Begitu pun bagi anak-anak dengan minat bidang lainnya. 'Kehausannya' akan ilmu yang dianggap perlu datang dengan sendirinya. Anak-anak belajar memilah dan memilih materi yang relevan dengan kebutuhan.

Menjejali anak dengan berbagai ilmu yang dianggap 'penting' oleh orang dewasa ternyata malah membuat banyak diantaranya menjadi jenuh. Saya sendiri merasakannya. Ilmu yang dianggap perlu oleh orang lain ternyata tidak diperlukan oleh saya.

Anggapan penting dan tidaknya suatu ilmu, atau perlu atau tidaknya suatu pengetahuan, ternyata dipengaruhi oleh filosofi belajar yang dianutnya. Mungkin, masih banyak orang yang menganggap ilmu adalah "maha segalanya" maka dia menjejalkan ilmu pada setiap anak. Namun, ada juga yang menganggap ilmu hanya sekedar pelengkap kehidupan karena berpikir adalah yang utama.

Begitu juga buku, dia hanyalah pelengkap. Buku bisa mengajak orang untuk rajin berpikir tetapi juga bisa membuat orang malas berpikir. Apalagi buku teks, dimana pengetahuan anak 'diseragamkan' maka tidak aneh membuat anak antipati. Buku teks yang dipenuhi ilmu yang "diseragamkan" malah bisa menapikan pengetahuan di sekitar lingkungan tempat tinggal.

Di era digital ini, alangkah baiknya anak-anak diajak mengumpulkan informasi dari lingkungan terdekatnya. Di satu sisi, dia bisa mengenal apa yang ada di sekitarnya. Juga, mereka bisa turut serta melestarikan kultur yang sudah terbangun oleh para pendahulunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun