Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benci Buku Karena Belajar Melulu Lewat Buku

7 Februari 2019   06:11 Diperbarui: 7 Februari 2019   06:18 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya suka membaca buku tetapi tidak percaya semua isi buku. (Dok. Pribadi)

Apabila belajar melulu lewat buku, jangan terlalu aneh malah menjadi tidak suka buku. Apabila buku masih dianggap sebagai satu-satunya sumber ilmu maka jangan terlalu aneh bila buku hanya tergeletak begitu saja dan tidak berharga.

***

'Mengkultuskan' Buku

Buku bisa dianggap sebagai sesuatu yang 'suci' karena didalamnya terdapat ilmu dimana juga dianggap 'suci'. Berbicara buku tidak bisa disamakan dengan 'kitab suci'.

Buku adalah benda mati dimana bisa tidak berguna sama sekali apabila tidak ada usaha untuk menggunakannya. Menggunakan buku sebagai sumber belajar adalah hal lumrah. Buku juga sebagai manifestasi pemikiran seseorang untuk disebarkan ke khalayak.

Hanya saja, buku bisa 'menjauhkan' pikiran manusia dari realita sekitarnya. Istilah 'kutu buku' tidak selalu berkonotasi positif. Bisa jadi, itulah bentuk sindiran bagi orang-orang yang mengandalkan pengetahuan hanya dari buku. Apa yang dikatakan oleh buku adalah sesuatu yang benar dan tidak terbantahkan.

Pak Sopyan, salah satu tokoh dalam sinetron Tukang Ojek Pengkolan (TOP) di RCTI merupakan cerminan orang "serba buku". Ketika mengobrol tentang suatu hal dia suka mengawalinya dengan kalimat, " menurut buku yang saya baca....". Saya suka tertawa karena lucu memperhatikan tipe orang seperti ini. Dia pikir, ilmu pengetahuan hanya dari buku. Maklum, profesi dia di sinetron itu sebagai akademisi.

Sebaliknya, Kang Sutisna/Tisna, seorang tukang ojek pangkalan. Apabila mengobrol dengan sesama tukang ojek atau tetangganya, suka mengawali dengan kalimat, "menurut Bapak saya ...". Hah, seakan perkataan Bapaknya sudah benar dan menjadikan Bapak sebagai satu-satunya sumber rujukan pengetahuan dan nilai kebijaksanaan.

Kedua tokoh itu seakan kontradiktif. Dan, itu terjadi di dunia nyata. Ada orang yang begitu 'mengagungkan' buku dan menganggap buku sebagai bentuk pembenaran akan pendapatnya. Baginya, buku tidak bisa terbantahkan dan paling layak dijadikan sumber rujukan.

Ada juga orang yang belajar dari orang tua atau orang yang lebih tua sebagai sumber rujukan. Memang, seperti Abad Pertengahan di Eropa dimana orang masih belajar melalui perkataan para Tokoh Masyarakat. Bahkan, omongan seorang peramal pun begitu dipercaya. Namun, cara belajar tradisional itu pun bukan sesuatu yang salah. Hanya saja, bisa membuat orang menjadi ortodoks dan sulit menerima sumber kebenaran dari orang lain selain orang yang dipercayanya. Di dunia nyata, orang seperti ini mudah ditemui di perkampungan dimana hanya orang tuanya dan tokoh agama saja jadi "satu-satunya" sumber pengetahuan dan nilai.

Sayangnya, para sarjana, seperti Pak Sopyan, mendobrak kebiasaan belajar 'tradisional' dengan buku saja. Senantiasa menegaskan bahwa "buku adalah jendela dunia", sembari menapikan bahwa kata-kata bijak orang tua sudah tidak berguna. Itu jelas terasa oleh anak-anak yang belajar dari Paud hingga Perguruan Tinggi. Belajarnya menggunakan buku, sumber belajarnya pun melulu lewat buku.

Sekali lagi, buku bukan Kitab Suci, Kawan....!

Belajar Tidak Harus Selalu Dari Buku

Belajar bisa bersumber darimana saja. Manusia belajar memiliki tujuannya sendiri. Apabila setiap orang memiliki ide dan cita-cita sendiri maka akan berbeda pula sumber belajarnya.

Orang yang memiliki cita-cita jadi pengusaha sukses sepertinya sulit apabila belajar hanya dari buku saja. Dalam dunia perdagangan, ada banyak hal yang tidak tertulis dalam buku. Mempraktekannya, bisa membuat dia lebih mengerti akan dunia yang dia jajaki.

Bagi seorang pedagang, buku akan menjadi sumber rujukan apabila dianggap perlu. Dia akan 'penasaran' akan apa yang tidak dia ketahui demi kemajuan usahanya. Apabila dianggap perlu, dia akan membuat buku sendiri dan menyebarkannya kepada orang lain.

Begitu pun bagi anak-anak dengan minat bidang lainnya. 'Kehausannya' akan ilmu yang dianggap perlu datang dengan sendirinya. Anak-anak belajar memilah dan memilih materi yang relevan dengan kebutuhan.

Menjejali anak dengan berbagai ilmu yang dianggap 'penting' oleh orang dewasa ternyata malah membuat banyak diantaranya menjadi jenuh. Saya sendiri merasakannya. Ilmu yang dianggap perlu oleh orang lain ternyata tidak diperlukan oleh saya.

Anggapan penting dan tidaknya suatu ilmu, atau perlu atau tidaknya suatu pengetahuan, ternyata dipengaruhi oleh filosofi belajar yang dianutnya. Mungkin, masih banyak orang yang menganggap ilmu adalah "maha segalanya" maka dia menjejalkan ilmu pada setiap anak. Namun, ada juga yang menganggap ilmu hanya sekedar pelengkap kehidupan karena berpikir adalah yang utama.

Begitu juga buku, dia hanyalah pelengkap. Buku bisa mengajak orang untuk rajin berpikir tetapi juga bisa membuat orang malas berpikir. Apalagi buku teks, dimana pengetahuan anak 'diseragamkan' maka tidak aneh membuat anak antipati. Buku teks yang dipenuhi ilmu yang "diseragamkan" malah bisa menapikan pengetahuan di sekitar lingkungan tempat tinggal.

Di era digital ini, alangkah baiknya anak-anak diajak mengumpulkan informasi dari lingkungan terdekatnya. Di satu sisi, dia bisa mengenal apa yang ada di sekitarnya. Juga, mereka bisa turut serta melestarikan kultur yang sudah terbangun oleh para pendahulunya.

Saya mulai menangkap bahwa ada hubungan antara minat dan bakat siswa dengan zaman yang dilalui seseorang. Maka dari itu, mereka mesti dirangsang untuk "mengumpulkan informasi" sebanyak mungkin mengenai apa yang menjadi minatnya. Nah, mengumpulkan informasi ini bisa bersumber dari buku.

Mengumpulkan Informasi 'Memaksa' Membaca Buku

Begitulah, minat seseorang akan buku berawal dari "kehausan" akan informasi yang diminati. Rasa penasaran akan apa yang telah terjadi di masa lalu dan apa yang akan terjadi di masa depan bisa membawa seseorang bergelut dalam ratusan bahkan ribuan buku. Itu yang saya alami.

Banyak penerbit buku anak yang memenuhi setiap halamannya dengan ilustrasi menarik. Sayangnya, buku teks di sekolah menjadi tidak menarik dan minim ilustrasi. Padahal, ketertarikan itulah yang mengawali minat baca seseorang bahkan suatu bangsa. Tengok saja Jepang, minat baca yang tinggi diawali oleh komik manga dengan ceritanya yang menarik.

Sumber:
Ayi Olim, Ayat Suryatna, Achmad Hufad., (2007). Teori Antropologi Pendidikan. Dalam Ali, M., Ibrahim, R., Sukmadinata, N.S., Sudjana, D., dan Rasjidin, W (Penyunting). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Imtima Press (Halaman 259-260)


Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau Informasi, (1988). Mizan, Bandung: (halaman 121-128)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun