Mohon tunggu...
Muhammad Umar ibnu malik
Muhammad Umar ibnu malik Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program studi Pendidikan Agama Islam, UIN. Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto

saya seorang mahasiswa yang memiliki minat tinggi terhadap kepenulisan dan literasi. hobi saya yakni membaca, menulis, bermain gitar, bernyanyi.

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Kontribusi Ki Ageng Bramasari Sebagai Pembawa Peradaban Islam di Desa Susukan, Beserta Situs Peninggalannya

16 Desember 2023   10:30 Diperbarui: 13 Februari 2024   06:43 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Situs Peninggalan Ki Ageng Bramasari. [Doc. Pribadi/Muhammad Umar Ibnu Malik]


https://www.susukan-banjarnegara.desa.id/artikel/2023/2/26/legenda-desa-susukan-1
https://www.susukan-banjarnegara.desa.id/artikel/2023/2/26/legenda-desa-susukan-1
Dalam agama Islam, terdapat konsep yang sangat penting dan memegang peranan sentral dalam menyebarkan dan memperkuat ajaran Islam, yaitu wali Allah atau tokoh penyebar agama Islam. Wali Allah adalah individu yang dipilih oleh Allah sebagai pemimpin spiritual dan penjaga ajaran agama, yang memiliki pemahaman mendalam terhadap Islam dan berdedikasi untuk menyebarluaskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam kepada umat manusia.

Peran utama wali Allah adalah menyebarkan pesan Islam dengan berbagai cara, termasuk dakwah, penulisan karya-karya ilmiah, dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Mereka juga memainkan peranan penting dalam memberikan nasihat dan bimbingan kepada umat Islam dalam menghadapi tantangan dan perubahan dalam kehidupan mereka. Pemahaman dan interpretasi Islam yang diperoleh oleh wali Allah dapat menjadi acuan bagi umat Islam dalam menjalankan keyakinan mereka serta menghadapi permasalahan yang dihadapi di dunia modern. Salah satunya dari kisah seorang wali Allah yang memiliki kontribusi besar terhadap perkembangan Islam yakni Ki ageng Bramasari, seorang tokoh ulama sentral yang sampai saat ini masih dikenang perjuangannya tepatnya di desa Sususkan, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawatengah.

Ki Ageng Bramasari merupakan seorang tokoh Ulama juga seorang pejuang Kemerdekaan. Beliau menyebarkan islam disalah satu desa yang terdapat di wiliayah Banjarnegara, tepatnya di Desa Susukan, Kec. Wanayasa. Yang sampai saat ini masih dikenang eksistensinya melalui peninggalannya oleh warga setempat maupun warga dari luar Desa Susukan yang berdatangan untuk berziarah, melakukan aktivitas spiritual, atau sekedar mengunjungi situs-situs peninggalan. Ki Ageng Bramasari adalah salah satu tokoh disebut sebagai Ulama atau Wali Allah yang memiliki kontribusi besar dalam sejarah peradaban perkembangan islam di Desa Susukan, dari sekian banyak situs peninggalan Ki Ageng Bramasari memiliki makna sejarah tersendiri, adapun situs bersejarah tidak hanya berada di Desa Susukan, akan tetapi ada beberapa Desa lain yang masih dalam lingkup Kabupaten Banjarnegara pun memiliki situs-situs bersejarah dari peninggalan Ki Ageng Bramasari.

Sejarah Ki Ageng Bramasari

Ki Ageng Bramasari merupakan seorang tokoh Ulama, sekaligus tokoh pejuang Kemerdekaan, namun beliau tidak memiliki gelar pahlawan. Ki Ageng Bramasari memiliki nama lain yaitu "Syekh Abdurrahim", akan tetapi warga lebih setempat mengenal beliau dengan nama Ki Ageng Bramasari yang lebih terdengar familiar dalam telinga masyarakat. Beliau disebut sebagai Wali Allah yang melakukan aktivitas penyebaran peradaban Agama Islam yang beraqidah Ahussunnah Wal Jama'ah tepatnya di Desa Susukan, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjaregara. Beliau hadir di Desa Susukan sekitar tahun 1850-an lebih, di era Pangeran Diponegoro,  Ki Ageng Bramasari juga termasuk salah satu jajaran prajurit pangeran Diponegoro, yang diutus oleh Pangeran Diponegoro untuk mempertahankan Kerajaan di wilayah Jawa  Tengah bagian barat arah selatan, tepatnya di Banjarnegara, Purbalingga, dan Kebumen. Dalam perjalanan penyebaran Islam Beliau tidak hanya menyebarkan Islam di satu daerah saja, ada beberapa Kabupaten di Jawa Tengah yang pernah Beliau singgahi untuk melaksanakan tugas penyebaran Agama Islam.

Ki Ageng Bramasari berasal sebuah kerjaan yang terdapat di Mataram yakni Kerajaan Mataram Islam. Beliau tidak masuk dalam Kasultanan Jogja, akan tetapi Beliau masuk di Kasunanan Solo atau Surakarta, karena Beliau bersebrangan dengan Kolonial Belanda, yang pada saat itu Mataram terbagi menjadi 2 (dua) yaitu; Mataram Kasultanan dan Mataram Kasunanan. Dalam perspektif lain, terdapat asumsi yang mengklaim bahwasanya Ki Ageng Bramasari merupakan seorang tokoh memiliki garis keturunan Prabu Siliwangi yang berasal dari Kerajaan Pajajaran, namun dari asumsi tersebut belum memiliki referensi maupun bukti kongkret yang memvalidasi sumber tersebut. Selain itu Ki Ageng Bramasari juga masih seperjuangan dengan beberapa tokoh penyebar Agama islam yang terdapat di Banjarnegara termasuk Raden Walang Sungsang yang terdapat di Dieng, kemudian Sunan Gripit diwiliayah Gripit Kecamatan Banjarmangu, Syekh Nurijan yang berada di Desa Suwidak, dan Nyai Sekati yang berada di Karangtengah.

Dalam sejarah penyebaran Islam yang dilakukan oleh Ki Ageng Bramasari, ketika Beliau sedang melaksanakan aktivitas dakwah dalam pengembangan ajaran Islamnya, beliau selalu menggunakan Ageman (pakaian jubah serba putih) layaknya sorang Syekh Masyayikh, tetapi ketika Beliau sedang melakukan tugasnya sebagai seorang prajurit, Beliau menggunakan pakaian kebesaran yang serba berwarna hitam, mulai dari ikat kepala sampai baju Beliau. Ki Ageng Bramasari termasuk salah satu pejuang tertua di Banjarnegara. Beliau mengasingkan diri dan mendirikan sebuah perkumpulan penduduk kecil yang diberi nama Kedawung, tempat awal mula Ki Ageng Bramasari menyebarkan peradaban Islam dan mengembangkan ekosistem. Kedawung letaknya tidak jauh dari Desa Susukan yang sekarang. Awal mula perpindahan penduduk Kedawung ke Desa Susukan yang sekarang konon  pada saat itu Ki Ageng Bramasari berupaya untuk memindahkan penduduk Kedawung untuk mengantisipasi bencana alam dan peristiwa lain, sehingga beliau merekayasa peristiwa, bahwa disana rawan terhadap maling atau pencurian dan binatang buas. Ki Ageng Bramasari bermaksud untuk menghindari bencana alam karena tanah yang labil , tentunya disisi lain maksud dari Ki Ageng Bramasari memiliki rahasia-rahasia yang tersembunyi dibalik pernyataan Beliau. Karena orang pada zaman itu jika diberitahu dengan bahasa yang lugas tanpa pembuktian terlebih dahulu tidak mungkin akan mau pindah. Selain itu minimnya air bersih yang menjadi faktor dipindahnya penduduk Kedawung ke Desa Susukan yang sekarang. Upaya perpindahan penduduk tersebut juga termasuk dari kontribus Mbah Gedong dan Eyang Susuk atas saran dari sesepuh.

Pada saat Ki Ageng Bramasari datang membawa perabadaban Islam di Desa Susukan Beliau sudah berstatus Suami, namun Beliau tidak mempunyai Dzuriyah (Keturunan). Beliau memiliki rumah disana yang pada zaman Kerajaan disebut sebagai Pasibanagung, yang kemudian oleh orang-orang sepuh dan tokoh masyarakat dahulu menyebutnya Pagenen. Ki Ageng Bramasari datang bersama Istrinya dalam menyebarkan ajaran Islam.  Istri beliau yaitu Nyi Ageng memiliki perspektif yang berbeda dari pada pendapat Ki Ageng Bramasari. Karena berselisih paham dengan suaminya yakni Ki Ageng Bramasari, sehingga makam sang Istri ditempatkan ditempat yang berbeda. Nyi Ageng berpulang terlebih dahulu sekitar 17-an tahun sebelum Ki Ageng Bramasari akhirnya berpulang. Makam Nyi Ageng berada disebuah puncak yang disana terdapat batu kecil dan panjang, konon batu tersebut digunakan oleh Ki Ageng Bramasari sebagai tempat Mujahadahnya ketika berkomunikasi atau bertelepati dengan para tokoh yang ada di Kerajaan Mataram.

Seiring dengan berjalannya waktu, Ki Ageng Bramasari masih menetap di Susukan, untuk menyelesaikan tugas penyebaran Islamnya. Pengembangan keilmuannya, baik Ilmu Agama maupun Ilmu Umum---dalam hal ini adalah ilmu pertanian, Beliau mengajari masyarakat untuk bertani menanam cabai serta tumbuhan lainnya---tetap eksis bahkan meluas sampai Dukuh Gunung Putih Desa Pandansari, kemudian di Desa Plumbungan, Karekan, yang masih dalam lingkup Kecamatan Pagentan, Kemudian di Kecamatan Pejawaran, tepatnya di Giritirta, Desa Biting, dan terdapat juga di dua Desa lagi yang ada di Kecamatan Pejawaran. Selain itu di Kecamatan Karangkobar terdapat disalah satu Desa yang bernama Binangun. Selain itu di Kecamatan Madukara, tepatnya di Desa Kenteng, Dukuh Ciledok. Beberapa daerah tersebut merupakan wilayah yang masih dalam lingkup Kabupaten Banjarnegara yang pernah disambangi (disinggahi) oleh Beliau Ki Ageng Bramasari, yang kemudian memunculkan banyak petilasan yang eksistensinya masih ada hingga saat ini.  

Selain wilayah yang pernah di singgahi Ki Ageng Bramasari di Kabupaten Banjarnegara, di Kabupaten Kebumen sendiri terdapat beberapa petilasan yang  salah satunya bertepatan Karanganyar, Kecamatan Karanganyar. Petilasan Beliau berdiri di sebelah jalan dekat dengan salah satu instansi SMK di Karanganyar. Kemudian juga ada di Banjarnegara, yang wilayah selatan berbatasan dengan Kebumen. Tepatnya di Gunung Alang. Selain itu rekam jejak Beliau meluas sampai ke Kabupaten Pekalongan. Tepatnya di Kecamatan Petungkriono. Ki Ageng Bramasari disana ditandai dengan Kewasisannya (Kecerdasan spiritual), yang dipercaya tidak semua orang memiliki kemampuan khusus seperti Beliau, tentunya Kewasisan tersebut dimiliki oleh Ki Ageng Bramasari karena Beliau merupakan seorang yang bergelar Ulama sekaligus Wali Allah. Kemudian juga terdapat bukti sejarah Ki Ageng Bramasari yaitu tanaman bambu yang banyak membawa manfaat untuk masyarakat setempat.

Dalam sumber Sejarah menurut tokoh setempat, Ki Ageng Bramasari menyebarkan Agama Islam melalui media pertanian, Beliau mengetahui kebutuhan dan menyesuaikan potensi yang terdapat di Desa Susukan. Beliau tidak menggunakan sarana lain seperti halnya Wali-wali masyhur yang ada di Tanah Jawa, karena pada masa perjuangan Ki Ageng Bramasari terjadi benturan budaya-budaya Hindu maupun Budha yang masih kental dengan kultur Masyarakat setempat. Sehingga metode pendekatan penyebaran agama Islam oleh Ki Ageng Bramasari berupaya untuk tidak menyinggung ataupun bertentangan dengan kultur Masyarakat setempat, namun masih tetap berorientasi untuk kesuksesan perkembangan Islam di Desa Susukan dan tidak menghilangkan tradisi yang sudah melekat dimasyarakat. Maka dari itu Ki Ageng Bramasari berkonsentrasi di sektor pertanian, tentunya metodenya dengan Ritual-ritual keagamaan ataupun Syariat yang ada didalam Islam. Konon katanya pada saat itu budaya Masyarakat setempat ketika menanam menggunakan ritual Budha.

Sekilas tentang sejarah bagaimana kontribusi Ki Ageng Bramasari dalam menyebarkan Agama Islam dengan perjuangannya. Mulai dari merubah pola pikir masyarakat untuk terus berkembang dan mengenalkan produk-produk pertanian yang bermanfaat dan dapat dikonsumsi oleh Masyarakat di Desa Susukan. Selain itu di Desa Susukan terdapat beberapa situs peninggalan Ki Ageng Bramasari yakni Kali Wali, Pagenen, dan Makom Ki Ageng Bramasari yang sampai saat ini masih eksis dan memiliki banyak manfaat bagi masyarakat luas.

Situs Kali Wali

Situs Kaliwali [Doc. Pibadi/Muhammad Umar Ibnu Malik]

gambar-whatsapp-2023-12-16-pukul-08-57-54-ed42c83b-657d048612d50f5bcd382272.jpg
gambar-whatsapp-2023-12-16-pukul-08-57-54-ed42c83b-657d048612d50f5bcd382272.jpg

Kaliwali atau yang masyarakat setempat menyebutnya dengan nama Kaliwangi, merupakan sumber mata air peninggalan Ki Ageng Bramasari yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk kebutuhan hidup. Kaliwali berada di Desa Susukan, letaknya yakni tidak sampai 1 km dari arah utara dari Desa Susukan, jalan menuju Dusun Legoklangkir. Kaliwali sendiri konon adalah bukti dari kewasisan (kecerdasan spiritual) Ki Ageng Bramasari yang merupakan seorang Wali Allah. Memiliki sejarah yang sangat unik, terdapat kisah yang tidak dapat dijelaskan secara empiris. Konon Sejarah Kali Wali dimulai ketika Ki Ageng Bramasari sedang melakukan aktivitas di perkebunan, kemudian Beliau secara kebetulan melihat seorang anak kecil yang sedang merintih menangis kehausan yang pada saat itu tidak ada satu orang pun ditempat tersebut termasuk Ibu dari anak itu. Setelah melihat anak tersebut Beliau kemudian bergegas menancapkan sebuah pusaka miliknya yang berbentuk tongkat ke tanah hingga keluarlah mata air  yang tidak disangka-sangka. Uniknya rasa dan aroma air tersebut tidak berbau belerang ataupun bau lainnya. Ketika musim kemarau datang mata air Kaliwali ini tidak surut, malah justru semakin deras. Sumber air dibuat oleh Ki Ageng Bramasari masih tetap mengalir hingga saat ini, bahkan air tersebut sering digunakan oleh masyarakat umum dan para peziarah yang berdatangan sebelum melaksanakan ziarah ke makam Ki Ageng Bramasari. Kaliwali memiliki satu sumber mata air yang kemudian dibagi menjadi dua bagian, sebelah kiri selatan diperuntukkan untuk para peziarah dan sebelah kanan utara diperuntukkan untuk masyarakat umum yang biasanya digunakan untuk mandi, berwudhu, ataupun mencuci.

Pada tahun 2017/2018 Pemerintah desa mengusulkan ide untuk membangun sebuah Mushola disebelah sumber mata air untuk peziarah atau orang-orang yang hendak melaksanakan Ibadah. Untuk meningkatkan anggaran desa, rencananya sumber daya alam Kaliwali akan digunakan untuk kebutuhan komersial. Pemerintah Desa dan Masyarakat sempat mengadakan wacana diskusi tentang penggunaan air Kaliwali yang akan diolah dan diozonisasi untuk dikonsumsi sebagai air minum;. Hal ini dianggap sebagai sumber pendapatan asli desa. Namun, hambatan termasuk kurangnya upaya teknologi, yang menyebabkan wacana tersebut belum terealisasi. Tantangan tambahan adalah biaya tinggi untuk peralatan yang diperlukan dalam upaya proses ozonisasi tersebut. Saat ini, air Kaliwali belum dimanfaatkan secara efektif untuk kebutuhan komersial. Keberhasilan implementasinya bergantung pada sejauh mana inisiatif pemerintah desa untuk meningkatkan pendapatan Desa melalui potensi air Kaliwali.

Selain itu, yang terbilang unik dari Kaliwali ini adalah sumber air tersebut konon tidak bisa dialihkan ke berbagai arah, ini yang merupakan ciri khas yang menarik dari Kaliwali tersebut. Secara ilmiah, air akan cenderung mengalir dari dataran tinggi ke dataran rendah, namun fenomena di Desa Dawuhan menunjukkan peristiwa unik. Meskipun ada perbedaan ketinggian sekitar 100 meter antara Dawuhan dan sumber air Kaliwali, pipa yang dipindahkan ke sumber lain yang lebih rendah dari Kaliwali berhasil mengalirkan air. Namun, ketika kembali dipindahkan ke Kaliwali, air hanya mengalir sebagian. dari fenomena tersebut menunjukkan sesuatu yang sulit dipahami dengan akal sehat. Terlepas dari keheranan para ahli perpipaan, air Kaliwali hanya digunakan untuk mandi dan mencuci, dan sebagainya terutama ketika sumber mata air lain terbatas.

Kali wali merupakan tempat yang disarankan paling utama didatangi sebelum beranjak ke makam Ki Ageng Bramasari untuk berziarah. Hal ini tidak hanya berlaku untuk masyarakat umum saja, namun peziarah yang berdatangan untuk berziarah ke makam Ki Ageng Bramasari pun disarankan untuk bersuci terlebih dahulu di Kaliwali sebelum melaksanakan Ziarah, sebagai bentuk untuk mensucikan jiwa, hati, dan pikiran dari hal negatif serta memohon kepada Allah SWT. meskipun tidak diwajibkan, tetapi sebaiknya ketika menjalankan tata urutan tersebut masyarakat mempercayai kegiatan ziarah akan lebih sempurna. Setelah mensucikan diri di Kaliwali, para peziarah ataupun masyarakat umum dipersilahkan untuk langsung melaksanakan ziarah ataupun menilik Pagenen terlebih dahulu. Umumnya kebanyakan peziarah atau masyarakat umum menilik sebentar pagenen yang berada ditengah Desa Susukan, kemudian beranjak untuk melaksanakan Ziarah.

Situs Pagenen 

Situs Pagenen Ki Ageng Bramasari. [Doc. Pribadi/Muhammad Umar Ibnu Malik]
Situs Pagenen Ki Ageng Bramasari. [Doc. Pribadi/Muhammad Umar Ibnu Malik]

Pegenen yang pada zaman kerajaan disebut Pasibanagung. Pasibanagung merupakan tempat yang biasanya digunakan oleh para Wali, prajurit dari Mataram sebagai tempat rapat atau tempat pertemuan. Pagenen berada di tengah desa Susukan disekitar rumah warga Desa susukan. Konon Pagenen tersebut didalamnya terdapat abu yang belum diketahui persis fungsi dan dari mana abu tersbut. Jika pikir dengan kacamata logika, tidak akan masuk akal kalau abu itu masih ada sampai sekarang. Karena sudah lebih dari ratusan tahun lalu abu yang ada didalam pagenen itu masih utuh. Oleh karena itu para tokoh agama desa Susukan memilih untuk menutupi abu tersebut ketika Pagenen direnovasi, menutupi dengan ubin agar tidak menimbulkan hal yang tidak diinginkan. supaya abunya tetap ada sebagai bentuk peninggalan Sejarah dan supaya tidak menimbulkan kesyirikan atau berpindah kelain akidah. Jika orang-orang yang mempercayai mitos-mitos itu, abu yang ada didalam pagenen akan diambil seolah-olah abu tersebut bertuah. Hal tersebut yang tidak diinginkan oleh para tokoh agama di desa susukan.

Pada tahun 2023 Pagenen selesai direnovasi, diprakarsai oleh beberapa Pemerintah Desa tokoh masyarakat dan warga Desa Susukan. Pagenen yang dibangun dengan material Kayu dan menggunakan atap Ijuk sebelumnya terlihat lawas, namun, setelah direnovasi dengan inistatif dan kreatifitas masyarakat, bangunan pagenen terlihat antik, dan sangat menarik. Dengan dipasang berbagai ornamen seperti bentuk keris dan dekorasi bangunan yang terlihat tradisional namum memiliki unsur seni yang bagus, bisa dipastikan bahwa masyarakat setempat memiliki kepedulian dan konsen yang tinggi terhadap penjagaan situs peninggalan Ki Ageng Bramasari.

Situs makam Ki Ageng Bramasari, Beserta Aktivitas Budaya

Situs Makam Ki Ageng Bramasari. [Doc. Pibadi/Muhammad Umar Ibnu Malik]
Situs Makam Ki Ageng Bramasari. [Doc. Pibadi/Muhammad Umar Ibnu Malik]

Ki Ageng Bramasari wafat 17 tahun setelah meninggalnya istri beliau yakni Nyi Ageng. Berbeda dengan Nyi Ageng,  Makam Ki Ageng Bramasari berada di Desa susukan dibagian selatan, dikelilingi Makam-makam para tokoh dan masyarakat umum Desa Susukan. Makam Ki Ageng Bramasari direnovasi pada tahun 2013, oleh pemerintah dan warga desa susukan yang berinisiatif untuk memperbaiki Makam. Didepan Makam Ki Ageng Bramasari terdapat dua makam yang lain. Dua makam tersebut merupakan makam tokoh pendiri Desa Susukan, salah satunya yaitu makam Demang Kaliunjar seorang tokoh sesepuh pertama kali di Susukan yang pada saat itu adalah Kademangan, kemudian disebelah barat yakni makam Mbah jasiah dan juga makam Mbah Mali yang merupakan jurukunci dari Beliau Ki Ageng Bramasari.

Tradisi Nyadran Gedhe

Di Desa Susukan tradisi yang dilakukan setiap tahunnya yakni Nyadran atau bedah tradisi. Tradisi Nyadran merupakan tradisi yang hampir sama seperti tradisi kenduri, sebagai bentuk syukur masyarakat untuk menyambut adanya bulan suci Ramadhan, sekaligus mendoakan tokoh-tokoh berpengaruh dalam penyebaran dan perkembangan Islam, khususnya kepada Ki Ageng Bramasari, dalam hal ini juga bertujuan untuk mengenang jasa-jasa perjuangan para leluhur. Tradisi Nyadran dilaksanakan setiap bulan Sya'ban menjelang Ramadhan. Prosesi kebudayaan nyadran sama seperti prosesi Ziarah, yaitu pertama masyarakat dianjurkan untuk bersuci di Kaliwali, kemudian beranjak ke Pagenen, setelah itu dilaksanakan Ziarah secara berjamaah bersamaan dengan para tokoh tokoh masyarakat. Kemudian setelah selesainya acara berziarah berjamaah, dilanjutkan Pengajian dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Dan acara selanjutnya yaitu Slametan (do'a dan makan bersama) atau biasa disebut kenduri. Dengan adanya acara tersebut, bertujuan untuk menjalin hubungan erat masyarakat, dengan saling bersedekah, makan bersama, dan saling berbagi. Demikian mengenai aktivitas kebudayaan yang ada Desa Susukan.

Selain itu banyak dari Majelis-majelis dan juga kelompok masyarakat dari luar Desa susukan yang berdatangan dan mengikuti prosesi kegiatan Nyadran, mulai dari berziarah menghadiri pengajian, dan karena acara tersebut terbuka untuk umum dan tidak membatasi siapapun yang ingin menghadiri kegiatan tersebut. Di Desa lain yang terdapat situs ataupun petilasan peninggalan Ki Ageng Bramasari juga melaksanakan tradisi kebudayaan yang hampir sama dengan prosesi kegiatan kebuadayaan yang ada di Desa Susukan, namun kegiatan di Desa lain tidak sekolosal seperti kegiatan kebudayaan di Desa Susukan. Karena makam Ki Ageng Bramasari yang berada di Desa Susukan merupakan makam asli Beliau. Sehingga kegiatan kebudayaan di Desa Susukan menjadi sentral dan menyeluruh untuk masyarakat umum. Kegiatan kebudayaan di Desa lain seperti di Desa Giritirta, desa Biting, dan Ciledok  tetap masih dilaksanakan, tetapi hanya dihadiri oleh orang-orang tertentu yang mencintai situs sejarah. Prosesi kegiatannya pun berbeda, tidak bersamaan dengan kegiatan Nyadran yang dilaksanakan di Desa Susukan. Ketika dilaksanannya prosesi  Nyadran, yang berdatangan untuk menghadiri acara tersebut tidak hanya lingkup masyarakat Banjarnegara saja, namun beberapa kelompok masyarakat dari daerah luar Banjarnegara pun turut menghadiri. Demikianlah tentang bagaimana aktivitas budaya masyarakat yang ada di Desa Susukan, acara yang dilaksanakan setiap tahun tersebut memberikan dampak baik kepada masyarakat untuk hidup kolektif dan terus membangun hubungan erat persaudaraan antar sesama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun