Mohon tunggu...
Muhammad Toriq Nunky
Muhammad Toriq Nunky Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa berintegritas yang ingin meningkatkan kreativitas tanpa batas.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana Kepastian Hukum terhadap Tindakan Catcalling di Indonesia?

18 April 2021   21:05 Diperbarui: 18 April 2021   21:15 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada hakikatnya wanita merupakan bagian dari jenis kelamin yang telah dikendaki oleh Tuhan dan dikodratkan untuk saling melengkapi diantara dua jenis kelamin, yaitu pria dan wanita. Bahwasanya, Pria dan wanita hidup bersama-sama dan berkembang dikehidupan ini sebagai peran produktif dan peran reproduksi. 

Dengan demikian, kedua jenis kelamin tersebut menjadi sebuah peran penting dalam menjaga keseimbangan kehidupan manusia di dunia. Akan tetapi, setiap manusia yang terlahir di bumi ini memiliki haknya masing-masing untuk hidup bebas dan terhindar dari segala ancaman. 

Namun, seiring berkembangnya zaman ancaman bisa datang dari siapapun dimanapun dan kapanpun, ancaman tersebut bisa berupa apa saja termasuk pelecehan seksual. Oleh karenanya, pelecehan seksual yang terjadi pun beragam bentuknya salah satunya ialah catcalling. 

Menurut Kinasih (2007) dalam tulisannya menyatakan bahwa Catcalling sendiri merupakan sebuah tindakan pelecehan berupa hasrat seksual pria dalam menarik perhatian wanita dengan cara memanggil (verbal) dengan bentuk godaan, teriakan bahkan tatapan yang biasanya dilakukan di jalanan (Street Harassment). 

Perempuan yang berjalan di muka umum kerapkali mengalami pelecehan seksual yang tidak memandang usia, pakaian yang digunakan, maupun ras sekalipun. Demikian, biasanya pelaku melakukan catcalling dengan spontan dan menganggap hal tersebut adalah hal yang wajar, serta lumrah terjadi untuk mendapatkan perhatian dari si korban. Bahkan kebanyakan dari pelaku menganggap perbuatan tersebut sebagai pujian.

Sering kali perbuatan catcalling dianggap sesuatu hal yang dibenarkan, demikian karena berdasarkan perspektif para pelaku, mereka cenderung menyalahkan pihak wanita dikarenakan menggunakan pakaian yang terbuka. Sehingga, pelaku beranggapan bahwa yang dilakukannya merupakan tindakan yang wajar atau lumrah dalam melakukan pelecehan secara verbal. Akan tetapi, pelecehan secara verbal atau catcalling sebenarnya tidak seharusnya dilakukan, karena wanita yang menggunakan pakaian tertutup pun kerap kali menjadi target para pelaku catcalling.

Pada umumnya di Indonesia sendiri, catcalling yang terjadi biasanya berbentuk verbal seperti bebunyian suara atau siulan-siulan tidak sopan, kalimat godaan serta sapaan absurd seperti “Hai cantik, mau ke mana?”, “Cewek, sendirian aja nih? Mau ditemenin ngga?”, atau berbentuk perhatian berlebihan yang tidak masuk akal dan memanggil dengan kalimat bernada menggoda seperti “Kok cemberut aja Neng? Lagi sedih ya?”, “Kayaknya boleh juga nih”. 

Dan biasanya jika korban catcalling tidak menaggapi atau bersikap acuh kepada pelaku, maka pelaku catcalling akan menjadi-jadi dalam melakukan tindakannya dengan kalimat seperti “Ih, sombong amat, sih?”, “Jangan malu-malu dong”, dan kalimat lainnya yang bersifat melecehkan.

Mempunyai kehidupan yang damai merupakan cita-cita setiap individu dalam menjalani kegiatan atau aktivitas kesehariannya dengan aman tanpa adanya gangguan dari pihak manapun. Dikarenakan hal tersebut merupakan hak bagi setiap individu untuk merasa tentram dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Akan tetapi, di kehidupan bermasyarakat tidak lah semua masyarakat memiliki kesamaan dalam bertindak atau berperilaku, layak halnya pelaku catcalling yang melakukan aksinya tanpa mengetahui adanya landasan norma dan nilai kesusilaan dalam berperilaku.

Hingga saat ini, tindakan catcalling masih sulit dalam penanganannya terutama memasukkannya dalam ranah hukum, karena sebagian masyarakat masih beranggapan catcalling sebagai hal yang remeh-temeh karena tidak mengandung unsur kekerasan fisik didalamnya. Akan tetapi, hal tersebut dapat mencederai psikologi korban karena merasa tidak dihargai hingga mengalami trauma terhadap perilaku tidak terpuji tersebut.

Maka dari itu, dalam hal ini perlu adanya penyelesaian serta penekanan untuk menghentikan perbuatan catcalling serta menjerat secara pidana sekaligus menyadarkan pelaku catcalling, serta dengan memberikannya edukasi tentang aturan hukum catcalling, sehingga korban dapat membawa kasusnya kepengadilan guna mendapatkan hak keadilannya sebagai korban.

Menurut Prof.Simons dalam Ruba’I (2007), Catcalling dikategorikan sebagai suatu perbuatan pidana karena telah memenuhi unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Adanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang menyalahi norma hukum serta terdapat unsur melawan hukum diancam pidana harus mampu bertanggung jawab atas Tindakan atau perbuatan yang telah dilakukannya dan dijatuhi sanksi yang telah mengikat didalamnya.

Dengan demikian, Catcalling di Indonesia dikategorikan sebagai salah satu perbuatan tindak pidana yang bertentangan dengan hukum dan norma kesusilaan. Perbuatan pidana merupakan suatu Tindakan yang dilarang untuk dilakukan karena melanggar norma hukum dan kesusilaan yang memiliki ancaman sanksi terhadap orang yang melanggar aturan tersebut dan sanksi tersebut ditujukan kepada perbuatan pelaku. Dengan kata lain, setiap individu yang melakukan perbuatan atau tindak pidana catcalling akan dikenakan sanksi hukum. 

Perbuatan atau tindakan catcalling di Indonesia sejauh ini belum memiliki kejelasan dan kepastian hukum, bahkan penanganan dan penyelesaian terhadap penegakkan hukum dalam perkara catcalling ini belum bisa diselesaikan secara tegas. Hingga saat ini, korban catcalling masih sulit untuk mendapatkan perlindungan hukum dan keadilan bagi dirinya. Hingga saat ini perlindungan terhadap korban perbuatan catcalling dikondifikasikan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai dasar hukumnya.

Tindakan Catcalling dapat dikatakan sebagai Tindakan melawan hukum karena mengganggu dan mengurangi hak asasi manusia (HAM) orang lain, terutama wanita. Akibatnya, perbuatan atau tindakan tersebut mengganggu dan mengurangi hak asasi orang lain serta melanggar hukum. 

Terdapat unsur-unsur kesalahan dalam perbuatan catcalling ini diantaranya ialah kemampuan dari diri pelaku kejahatan tersebut untuk bertanggung jawab terhadap semua tindakan yang dilakukannya, hubungan yang kuat antara pembuat dengan perbuatannya yang dilakukan karena unsur kesengajaan. 

Tak hanya itu, pertanggungjawaban dari pelaku catcalling berkaitan erat dengan kesalahan yang telah diperbuat oleh pelaku. Seseorang dikatakan mampu untuk dimintakan pertanggungjawabnnya apabila tidak ada lagi alasan pembenaran serta alasan pemaaf atas perbuatan yang dilakukannya. 

Catcalling atau pelecehan seksual secara verbal mengakibatkan korbannya merasakan ketidaknyamanan, kerisihan, ketakutan, trauma hingga gangguan secara mental yang berpengaruh terhadap psikologinya.

Melihat hal ini, Komini Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengeluarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2020. CATAHU 2020 sendiri merupakan catatan pendokumentasian berbagai kasus kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan termasuk catcalling yang dilaporkan dan ditangani oleh berbagai Lembaga negara, lembaga layanan maupun yang dilaporkan ke Komnas Perempuan sepanjang tahun 2019. 

Tercatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdiri dari 421.752 kasus bersumber dari data perkara yang ditangani Pengadilan Agama, 14.719 kasus yang ditangani oleh lembaga mitra pelayanan yang tersebar sepertiga provinsi di Indonesia dan 1419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR), unit yang yang sengaja dibentuk oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan secara langsung oleh korban yang dengan datang maupun menelepon ke Komnas Perempuan.

Dikarenakan tingginya tingkat pelecehan termasuk catcalling di Indonesia, sudah seharusnya masyarakat saling mengedukasi satu sama lain sebagai bentuk kepedulian terhadap korban maupun pelaku. Bahwasanya, masyarakat dapat memberikan perannya dalam membantu memberikan dukungan kepada korban dalam bentuk support system untuk memulihkan keseimbangan psikologinya serta rasa traumanya. 

Lain halnya dengan pelaku, masyarakat dapat memberikan edukasi mengenai catcalling bahwa hal tersebut merupakan tindakan yang melanggar norma hukum dan kesusilaan dibidang seksualitas, dimana perbuatan atau tindakan tersebut pada umumnya akan menimbulkan perasaan malu, tidak dihargai, hingga trauma bagi korbannya.

Selain itu, hal diatas yang merupakan upaya alternatif untuk menekan jumlah catcaller selain menggunakan media hukum sebagai efek jera. 

Upaya alternatif tersebut dapat terus dikembangkan di lingkungan  masyarakat karena masih belum adanya dasar  hukum yang jelas dan tegas di Indonesia untuk menyelesaikan kasus catcalling, hal ini mengakibatkan belum adanya kepastian hukum atas perbuatan atau tindakan tersebut. 

Penyelesaian terhadap kasus tindak pidana perbuatan catcalling di Indonesia sejauh ini masih menggunakan dasar hukum gabungan dari beberapa aturan-aturan yang ada. Adapun hukum dan aturan yang mengatur tindak pidana catcalling yaitu 

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Meskipun menggunakan undang-undang tersebut sebagai dasar hukum dalam mengadili pelaku dan melindungi korban dari perbuatan catcalling, aturan-aturan tersebut belum mampu dalam menjamin kepastian hukum secara optimal. 

Hal ini disebabkan oleh belum adanya aturan khusus yang benar-benar menaungi kasus catcalling sebagai suatu tindak pidana. Dikarenakan belum adanya suatu aturan dan dasar hukum pidana serta doktrin dari para ahli hukum Indonesia dalam menentukan pasal yang tepat untuk digunakan sebagai alat pemidanaan pelaku mengakibatkan lemahnya kepastian hukum terhadap tindakan catcalling. 

Dengan demikian, sudah seharusnya ada dasar hukum yang selaras, sehingga pelaku tindak catcalling mendapatkan hukuman yang setimpal dan korban pun mendapatkan keadilan. Kasus perkara catcalling sungguh penting untuk dikaji, karena kebanyakan masyarakat di Indonesia masih menganggap sangat biasa dan lumrah, padahal catcalling dapat berdampak merugikan bagi korban.

Oleh Karena itu, perlu dilakukan kegiatan sosialisasi serta edukasi secara berkala dan intensif kepada masyarakat terhadap perbuatan atau tindakan catcalling yang tidak lain adalah suatu tindak pidana pelecehan secara verbal, hal ini diharapkan mampu berperan besar dalam menekan dan menanggulangi perbuatan dan tindakan catcalling di Indonesia salah satunya dengan metode seperti mengkapanyekan bahwa tindakan catcalling merupakan tindakan yang tindak mengindahi norma hukum dan kesusilaan hingga mencederai hak kebebasan perempuan dalam bermasyarakat dimuka umum.

Dengan ini, selain mengupayakan dengan cara alternatif dengan mengedukasi masyarakat, sudah seharusnya aturan-aturan hukum mengenai catcalling dibentuk untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku dan korban serta mengurangi terjadinya tindakan catcalling di masyarakat guna mengadili pelaku sesuai dengan aturan-aturan hukum pidana dan melindungi para korban, terutama wanita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun