Menurut Prof.Simons dalam Ruba’I (2007), Catcalling dikategorikan sebagai suatu perbuatan pidana karena telah memenuhi unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Adanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang menyalahi norma hukum serta terdapat unsur melawan hukum diancam pidana harus mampu bertanggung jawab atas Tindakan atau perbuatan yang telah dilakukannya dan dijatuhi sanksi yang telah mengikat didalamnya.
Dengan demikian, Catcalling di Indonesia dikategorikan sebagai salah satu perbuatan tindak pidana yang bertentangan dengan hukum dan norma kesusilaan. Perbuatan pidana merupakan suatu Tindakan yang dilarang untuk dilakukan karena melanggar norma hukum dan kesusilaan yang memiliki ancaman sanksi terhadap orang yang melanggar aturan tersebut dan sanksi tersebut ditujukan kepada perbuatan pelaku. Dengan kata lain, setiap individu yang melakukan perbuatan atau tindak pidana catcalling akan dikenakan sanksi hukum.Â
Perbuatan atau tindakan catcalling di Indonesia sejauh ini belum memiliki kejelasan dan kepastian hukum, bahkan penanganan dan penyelesaian terhadap penegakkan hukum dalam perkara catcalling ini belum bisa diselesaikan secara tegas. Hingga saat ini, korban catcalling masih sulit untuk mendapatkan perlindungan hukum dan keadilan bagi dirinya. Hingga saat ini perlindungan terhadap korban perbuatan catcalling dikondifikasikan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai dasar hukumnya.
Tindakan Catcalling dapat dikatakan sebagai Tindakan melawan hukum karena mengganggu dan mengurangi hak asasi manusia (HAM) orang lain, terutama wanita. Akibatnya, perbuatan atau tindakan tersebut mengganggu dan mengurangi hak asasi orang lain serta melanggar hukum.Â
Terdapat unsur-unsur kesalahan dalam perbuatan catcalling ini diantaranya ialah kemampuan dari diri pelaku kejahatan tersebut untuk bertanggung jawab terhadap semua tindakan yang dilakukannya, hubungan yang kuat antara pembuat dengan perbuatannya yang dilakukan karena unsur kesengajaan.Â
Tak hanya itu, pertanggungjawaban dari pelaku catcalling berkaitan erat dengan kesalahan yang telah diperbuat oleh pelaku. Seseorang dikatakan mampu untuk dimintakan pertanggungjawabnnya apabila tidak ada lagi alasan pembenaran serta alasan pemaaf atas perbuatan yang dilakukannya.Â
Catcalling atau pelecehan seksual secara verbal mengakibatkan korbannya merasakan ketidaknyamanan, kerisihan, ketakutan, trauma hingga gangguan secara mental yang berpengaruh terhadap psikologinya.
Melihat hal ini, Komini Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengeluarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2020. CATAHU 2020 sendiri merupakan catatan pendokumentasian berbagai kasus kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan termasuk catcalling yang dilaporkan dan ditangani oleh berbagai Lembaga negara, lembaga layanan maupun yang dilaporkan ke Komnas Perempuan sepanjang tahun 2019.Â
Tercatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdiri dari 421.752 kasus bersumber dari data perkara yang ditangani Pengadilan Agama, 14.719 kasus yang ditangani oleh lembaga mitra pelayanan yang tersebar sepertiga provinsi di Indonesia dan 1419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR), unit yang yang sengaja dibentuk oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan secara langsung oleh korban yang dengan datang maupun menelepon ke Komnas Perempuan.
Dikarenakan tingginya tingkat pelecehan termasuk catcalling di Indonesia, sudah seharusnya masyarakat saling mengedukasi satu sama lain sebagai bentuk kepedulian terhadap korban maupun pelaku. Bahwasanya, masyarakat dapat memberikan perannya dalam membantu memberikan dukungan kepada korban dalam bentuk support system untuk memulihkan keseimbangan psikologinya serta rasa traumanya.Â
Lain halnya dengan pelaku, masyarakat dapat memberikan edukasi mengenai catcalling bahwa hal tersebut merupakan tindakan yang melanggar norma hukum dan kesusilaan dibidang seksualitas, dimana perbuatan atau tindakan tersebut pada umumnya akan menimbulkan perasaan malu, tidak dihargai, hingga trauma bagi korbannya.