Mohon tunggu...
Muhammad Toha
Muhammad Toha Mohon Tunggu... profesional -

Seorang kuli biasa. Lahir di Banyuwangi, menyelesaikan sekolah di Bima, Kuliah di Makassar, lalu jadi kuli di salah satu perusahaan pertambangan di Sorowako. Saat ini menetap dan hidup bahagia di Serpong--dan masih tetap menjadi kuli.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kejujuran Sederhana ala Kuli

10 Januari 2014   09:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:58 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Maaf Pak Mudin jika saya sempat berpikir jelek tentang Bapak, karena saya pikir barang saya sudah hilang,"

"Iya Pak saya paham. Memang ada kuli panggul yang curang seperti itu Pak. Cuma kalau saya lakukan itu, kasihan kuli-kuli yang lain. Mereka tidak berbuat tapi mereka bisa kena getahnya. Kuli-kuli yang lain bisa tidak dipercayai lagi sama orang. Kalau kami tidak dipercaya, rejeki kami bisa berkurang Pak, kasian keluarga kami," kata Pak Mudin dengan polos.

Deg...Saya terperanjat dengan jawaban Pak Mudin. Saya sama sekali tidak menyangka motif Pak Mudin untuk menjaga barang saya bukan sekedar karena kejujuran. Tapi menurut saya ini beyond of trust: beliau melakukannya demi menjaga kehormatan profesinya; Profesi Kuli Panggul.

Bagi Pak Mudin, profesi kuli panggul bukan sekedar otot yang kuat, sebab sekali berbuat curang, maka otot yang kuat tidak akan berguna. Rejeki datang bukan karena otot yang kuat, rejeki datang karena ketulusan dan kejujuran. Dan satu hal lagi, beliau lakukan itu bukan sekedar untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk ratusan bahkan mungkin jutaan kuli panggul yang mengais rejeki di pasar-pasar negeri ini.

"Terus seandainya tadi Bapak tidak menemukan saya di Pintu Keluar Pasar gimana Pak," tanya saya.

"Saya yakin kita pasti ketemu Pak,"

"Maksud saya seandainya tidak ketemu gimana,"

"Saya tidak tidak pernah mengandai-andai, karena saya yakin pasti ketemu Bapak. Kalau yakin, pasti akan ada jalannya Pak,"

Nyaris saya seperti ditampar telak di muka oleh kejujuran dan keyakinan Pak Mudin. Saya merasa embel-embel status pendidikan dan pekerjaan yang saya sandang telah diinjak-injak oleh kejujuran dan keyakinan Pak Mudin, yang belakangan saya tahu cuma tamatan SD. Sebab saya yang sarjana dan "orang kantoran" ini, belum berani untuk melakukan kejujuran dan keyakinan seperti yang dilakukan Pak Mudin. Kejujuran saya kerap kali kejujuran terpaksa; dipaksa oleh system yang mengharuskan saya jujur, dan keyakinan saya adalah keyakinan kondisional; keyakinan yang tergantung feeling dan warna hati.

Selasai makan, saya rogoh saku celana saya. Saya sisipkan 5 lembar uang 50 ribu ke tangan Pak Mudin. Pak Mudin kaget dan menolak, "upahnya tadi kan cuma 25 ribu Pak".

"Iya Pak, 25 ribu untuk upah angkat, sisanya untuk keluarga Bapak," kata saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun