Apes gue! Saya coba balik ke tempat bertemu si kuli panggul. Tapi labirin ala Pasar Asemka yang semrawut ditambah panik, membuat saya justru kesasar. Butuh beberapa menit untuk sampai ke tempat itu kembali. Tapi lagi-lagi hasilnya nihil. Saya belum menyerah. Sekali lagi saya telusuri labirin ala Pasar Asemka. Dan kembali hasilnya sama.
Sekitar satu jam saya habiskan waktu untuk mencari si kuli panggul itu dengan sia-sia. Saya mulai dihinggapi pikiran negatif. Bukan sekali dua kali saya mendengar cerita soal kuli panggul yang curang. Mereka menjadi kuli di satu sisi, tetapi di sisi lain ketika ada kesempatan barang yang dipanggulnya dibawa kabur, diklaimlah barang itu sebagai barang milik.
Saya coba flashback. Saya menduga, kejadian yang saya alami tadi, sebuah skenario yang dirancang oleh komplotan penguntil terlatih. Bukan hal yang kebetulan jika si kuli panggul berjalan cepat di depan, lalu salah satu anggota komplotannya sengaja menabrak saya sampai saya terjatuh, agar si kuli panggul bisa menyelinap membawa kabur barang saya.
Dengan seluruh jiwa raga serta pembendaharaan kata umpatan yang aku miliki, saya rutuki si kuli panggul itu dengan kesal. Sabtuku hilang, badan remuk-pegal, barang dicolong, dan pastinya saya mesti mengganti 20 juta yang digondol si kuli panggul itu. Sial bertubi-tubi.
Siang hampir beranjak sore, waktu sholat Dzuhur hampir lewat, saya sempatkan dulu ke Mesjid Pasar untuk sekedar melepas kewajiban sebelum balik pulang ke Serpong. Tidak ada doa yang saya panjatkan setelah sholat, karena hati saya masih dirudung kesal yang teramat kesal. Dengan gontai saya menuju ke parkiran mobil. Kesal, capek, jengkel bercampur jadi satu.
Mobil saya mengarah ke jalan keluar pasar, tatkala mata saya tertumbuk pada sosok bapak setengah baya yang berdiri di pintu keluar pasar. Tidak salah lagi. Dialah si kuli panggul itu. Di samping kakinya, ada kardus ukuran air mineral milikku. Bapak itu mengamati setiap mobil yang keluar pasar, seperti coba mengenali penumpang di dalam mobil. Saya buka kaca mobil, dan begitu Bapak itu melihat wajah saya, raut muka si kuli panggul itu langsung tersenyum sumringah. Dengan sekali sentak, kardus itu diangkatnya, lalu beliau menghampiri mobil saya.
"Pak, ini barangnya Bapak," begitu kalimat pertamanya.
Tenggorokan saya tercekat. Saya merasa bersalah karena telah berprasangka jelek. Saya parkirkan kembali mobil di dekat jalan keluar. Saya hampiri Bapak si Kuli Panggul itu. Setelah kardus jam, saya masukkan ke mobil, saya ajak Bapak itu ke rumah makan. Semula dia menolak, tapi saya paksa beliau untuk ikut.
Di rumah makan itulah Bapak yang belakangan saya tahu namanya Pak Mudin ini menceritakan soal barang yang dipanggulnya:
"Saya jalan di depan biar Bapak bisa mudah lewat. Saya jalan terus sampai ke keluar gedung, tapi begitu saya nengok ke belakang, kok Bapak tidak ada. Saya pikir, Bapak singgah ke toko lain, jadi saya tunggu di situ hampir 10 menit. Karena gak muncul-muncul, saya balik lagi ke tempat kita tadi ketemu, tapi gak ada juga. Terus saya balik lagi keluar dan nungguin Bapak disana. Karena gak ketemu, saya akhirnya coba cegat setiap mobil yang keluar pasar. Saya tunggui Bapak di jalan keluar pasar," begitu cerita Pak Mudin dengan wajah lugu.
Saya lirik jam tangan; pukul 3 siang. Berarti Pak Mudin mencari saya hampir 2 jam, dan 1 jamnya lebih dengan berdiri di tengah terik matahari-di jalan keluar pasar.