"Lima puluh ribu,"
"Ah, mahal amat. Dua puluh lima ribu saja ya," tawar saya.
Dia setuju. Bapak itu saya serahkan kardus berisi jam, sementara kardus satunya saya bawa. Kardus yang bagi saya berat itu, dengan sekali sentakan sudah berpindah di pundaknya. Bapak itu berjalan di depan saya, sementara saya mengekor di belakang. Badannya yang tegap, menyibak kerumuman orang yang menghalangi jalannya.
Namun sial, beranjak tidak terlalu jauh, saya ditabrak salah satu pengunjung yang berjalan tergesa. Kantong HP yang saya selipkan di ikat pinggang, terpental jatuh, sementara saya hampir jatuh kalau tidak tertahan tiang. Reflek yang saya lakukan adalah mencari kantong HP yang jatuh, cukup lama saya menyusuri lantai untuk mencari kantong HP. Untung HP saya ketemu.
Tapi, Damm!!! Mana si kuli panggul itu? Mata saya tidak menangkap sosoknya di depan saya. Saya buru-buru mengejar dia. Tapi Gedung Pasar Asemka dirancang oleh seseorang yang saya yakin bukan sarjana Arsitektur. Menurutku pasar ini dirancang oleh orang yang baru bangun tidur, dan tiba-tiba merasa mendapat wangsit untuk mendesain pasar. Jadilah pasar ini seperti labirin; gang dan deretan los sama sekali tidak beraturan. Saya saja yang beberapa kali berkunjung, masih kerap tersesat hanya untuk sekedar mencari jalan keluar.
Buru-buru saya coba mengejar kuli panggul itu. Tapi sosoknya tidak kelihatan. Saya kejar dia sampai ke pintu keluar, tapi hasilnya nihil. Saya mulai panik. Kardus itu berisi barang seharga lebih 20 juta. Lumayan menurut ukuranku.
Saya belum mau menyerah. Saya datangi Satpam untuk bertanya:
"Pak, tadi sempat lihat gak, kuli panggul lewat bawa kardus seukuran kardus air mineral?" tanya saya
"Namanya kuli itu siapa Pak," balik bertanya Satpam.
"Wah saya gak sempat nanya namanya," jawab saya.
"Susah kalo gak tau namanya, kuli di sini ratusan. Lagian orang yang bawa barang seukuran gitu mulai tadi ada puluhan Pak," balik menerangkan Satpam itu.