Menurut Firdaus, komunitas orang-orang bermata biru itu sudah sangat sedikit. Dulu mereka bermukim di dekat pantai, tetapi sebagian besar menjadi korban tsunami. Memang ada satu keluarga di Kampung Lamme, dekat rumah Firdaus, namun anak-anak keluarga itu biasanya sudah mondok di dayah sejak sore hari.
"Tapi, kita coba berkunjung ke rumahnya, mudah-mudahan mereka ada," tawar Firdaus.
Menembus gelapnya malam di Lamno, mobil kami tidak bisa bergerak cepat. Perlahan-lahan mobil melintasi jalan pedesaan yang sempit. Meski sedikit kesulitan, akhirnya kami sampai juga didepan sebuah gang sempit yang diperkeras dengan rabat beton.
"Ini gang menuju ke rumah gadis mata biru," sebut Firdaus.
Dibantu penerangan senter dari sebuah mancis, kami menelusuri gang sempit yang ditanami pohon kuda-kuda. Sekitar 50 meter dari mulut gang, Firdaus menunjuk sebuah rumah panggung berdinding papan. Itulah rumah gadis mata biru berambut pirang, katanya.
Firdaus mengucapkan salam, lalu memanggil nama si pemilik rumah. Tidak berselang lama, dari jendela melongok seorang perempuan paruh baya. Perempuan itu adalah emak dari gadis mata biru bernama Rauzatul Jannah.
"Ada abang, Kak?" tanya Firdaus.
"Sudah keluar dari sore, belum kunjung pulang," jawab perempuan itu.
"Rauzatul Jannah ada di rumah?" tanya Fidaus.
"Ada. Biasanya dia pergi ngaji, tapi hari ini kurang sehat. Ayo silahkan masuk," ajak perempuan itu sambil membukakan pintu.
Kami melangkah kedalam rumah panggung bergaya melayu itu. Didalamnya tidak ada sofa dan mubiler, hanya ada sebuah televisi tua yang tidak nyala.