Di ujung barat Aceh, ada komunitas bermata biru yang diyakini berdarah Portugis. Mereka sudah sangat lama menetap disana. Meski fisiknya mirip bangsa Eropa, toh komunitas ini tidak merasa sebagai keturunan Eropa, karena tidak tahu siapa nama fam endatunya (nenek moyang).
Umumnya komunitas ini sudah nyaman sebagai orang Aceh yang hidup seperti layaknya penduduk Lamno lainnya. Ada yang bertani, menjadi nelayan, dan usai magrib anak-anak mereka pergi mengaji Al Quran ke dayah atau surau (meunasah) terdekat.
Bagi yang belum tahu keberadaan komunitas ini, sering kecele. Mereka terheran-heran menyaksikan anak-anak bermata biru dan berambut pirang bertutur bahasa Aceh dengan sangat fasih. "Kapan bule belajar bahasa Aceh?" begitu komentar yang sering terdengar.
Cerita itu sudah cukup lama beredar. Ketika saya masih duduk dibangku sekolah dasar tahun 1970-an sudah mendengar cerita itu. Hanya saja, banyak yang menganggap cerita itu sebagai dongeng, semacam cerita menjelang tidur. Pasalnya, banyak orang di Aceh yang mirip bule, Arab, Turki, China, bahkan tidak sedikit mirip orang Tamil.
Akhir-akhir ini, beberapa media cetak, televisi dan media online begitu gencar menyorot kisah gadis bermata biru. Gencarnya pemberitaan tentang sosok fenomenal dari Lamno Kabupaten Aceh Jaya, betul-betul bikin semua orang penasaran. Salah satunya adalah saya.
Sabtu lalu (18/11/2017), saya mengajak Joe Samalanga (wartawan dan budayawan Aceh) untuk menyambangi kampung orang-orang bermata biru di Lamno. Tanpa pikir panjang, dia lagsung menyatakan bersedia. Lalu, bakda ashar, kami sepakat berangkat dari Banda Aceh menuju Lamno yang jaraknya sekitar 78,3 Km.
Perjalanannya sangat menarik, karena kami bisa memacu kenderaan diatas badan jalan terbaik di Aceh. Permukaan jalan sangat mulus, laksana sebuah jalan bebas hambatan.
Menjelang magrib, kami tiba di cadas terjal Gunung Gurutee, tempat paling eksotik untuk menikmati sunset. Disana, orang-orang memenuhi warung-warung yang terbuat dari bedeng, ngopi sambil menunggu sunset.
Setelah melewati cadas terjal itu, pertanda kami sudah masuk ke wilayah yang dihuni oleh orang-orang bermata biru. Dalam hitungan menit, kami sudah melintasi perkampungan penduduk menuju ke pusat kota Lamno.
Ditengah alunan suara azan magrib, kami disambut oleh Firdaus (biasa dipanggil Pedoss) seorang photografer profesional yang menetap di Lamno. Kemudian, dia memandu kami ke sebuah surau (meunasah) yang terletak didekat rumahnya untuk menunaikan ibadah shalat fardu magrib.
Saat menikmati makan malam di sebuah rumah makan, kami mengutarakan niat untuk bertemu dengan keluarga bermata biru. Rencananya, kami akan mewawancarai mereka. Hasil wawancara itu sebagai bahan tulisan tentang kehidupan orang-orang bermata biru.
Menurut Firdaus, komunitas orang-orang bermata biru itu sudah sangat sedikit. Dulu mereka bermukim di dekat pantai, tetapi sebagian besar menjadi korban tsunami. Memang ada satu keluarga di Kampung Lamme, dekat rumah Firdaus, namun anak-anak keluarga itu biasanya sudah mondok di dayah sejak sore hari.
"Tapi, kita coba berkunjung ke rumahnya, mudah-mudahan mereka ada," tawar Firdaus.
Menembus gelapnya malam di Lamno, mobil kami tidak bisa bergerak cepat. Perlahan-lahan mobil melintasi jalan pedesaan yang sempit. Meski sedikit kesulitan, akhirnya kami sampai juga didepan sebuah gang sempit yang diperkeras dengan rabat beton.
"Ini gang menuju ke rumah gadis mata biru," sebut Firdaus.
Dibantu penerangan senter dari sebuah mancis, kami menelusuri gang sempit yang ditanami pohon kuda-kuda. Sekitar 50 meter dari mulut gang, Firdaus menunjuk sebuah rumah panggung berdinding papan. Itulah rumah gadis mata biru berambut pirang, katanya.
Firdaus mengucapkan salam, lalu memanggil nama si pemilik rumah. Tidak berselang lama, dari jendela melongok seorang perempuan paruh baya. Perempuan itu adalah emak dari gadis mata biru bernama Rauzatul Jannah.
"Ada abang, Kak?" tanya Firdaus.
"Sudah keluar dari sore, belum kunjung pulang," jawab perempuan itu.
"Rauzatul Jannah ada di rumah?" tanya Fidaus.
"Ada. Biasanya dia pergi ngaji, tapi hari ini kurang sehat. Ayo silahkan masuk," ajak perempuan itu sambil membukakan pintu.
Kami melangkah kedalam rumah panggung bergaya melayu itu. Didalamnya tidak ada sofa dan mubiler, hanya ada sebuah televisi tua yang tidak nyala.
Perempuan itu mempersilahkan kami duduk di lantai papan yang beralaskan terpal plastik. Kondisi itu menunjukkan bahwa kehidupan mereka sangat sederhana.
"Kami belum punya rumah, ini rumah mertua," ungkap perempuan itu.
Firdaus menceritakan maksud kedatangan kami ke rumahnya. Dia mengizinkan anaknya diwawancarai. Sambil menunggu anaknya keluar dari kamar, perempuan itu menceritakan sebuah kejadian traumatik. Kejadian itu yang mendasari kekhawatiran mereka melepaskan anak-anaknya merantau keluar kota.
Ketika itu, perempuan paruh baya tersebut membawa ketiga anaknya (termasuk balita Rauzatul Jannah) belanja ke Pasar Aceh di Banda Aceh. Disana, mereka menjadi pusat perhatian warga. Hampir semua orang mencolek pipi anaknya ketika berpapasan dengan mereka. Paling aneh, seorang perempuan merebut Rauzatul Jannah dari pegagangannya.
"Saya kejar perempuan itu ditengah pasar, akhirnya berhasil merebut kembali si Rauzatul Janah," sebut perempuan itu tertawa.
Kini Rauzatul Jannah sudah remaja. Rambut pirang tidak terlihat lagi, sudah ditutupi dengan hijab. Hanya ada selembar foto ketika dia masih balita, bukti tak terbantahkan bahwa gadis itu sesungguhnya berkulit bule, berambut pirang, dan bermata biru.
Saat ini, Rauzatul Jannah makin dewasa. Dia duduk dibangku kelas 2 MAS Lamno. Selain sekolah disitu, setiap sore dia mengaji Al Quran di Dayah Bungkhuih Lamno.
Meski tergolong keluarga kurang mampu, cita-citanya sungguh tinggi. Dia ingin menjadi seorang psikolog. Sayang, cita-cita itu tidak simetris dengan kondisi ekonomi dan penghasilan orang tuanya.
Ekonomi keluarga itu cukup memprihatinkan. Cari sehari untuk makan hari itu. Makanya, si emak tidak yakin akan mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi.
"Ingin menjadi psikolog, tapi keadaan ekonomi bapak kurang mampu," timpal Rauzatul Jannah dengan wajah sedih.
INI VIDEONYA
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI