Ditegaskan lagi berdasarkan data Nielsen Radio Audience Measurement kuartal ketiga 2016, bahwa waktu mendengarkan radio per minggu, rupanya bertumbuh dari tahun ke tahun. Jika di tahun 2014 pendengar radio hanya menghabiskan waktu mendengarkan radio 16 jam per minggunya, hasil ini meningkat terus di tahun 2015 (16 jam 14 menit per minggu) dan tahun 2016 (16 jam 18 menit).
Penasaran, bukan? Berdasarkan informasi itu, saya melakukan pengamatan terhadap beberapa petani kopi di Dataran Tinggi Gayo. Suatu hari, saya bertemu dengan Pak Santoso dan isterinya yang sedang memetik kopi di ladangnya, kawasan Bergendal, Kabupaten Bener Meriah.
Disana, saya melihat kabel berwarna putih dari balik jilbab isteri Pak Santoso. Saya tanya: "Itu kabel apa?" Perempuan itu tersipu malu sambil meraba kabel tersebut. Dia mangatakan: "O... ini handset, lagi mendengar siaran radio RRI Takengon." Kemudian, dia mengeluarkan radio berupa mobile phone tua bermerek Nokia Asha warna biru dari saku sweater putih.
"Ngutip kopi sambil dengar radio, jadi nggak terasa capek," ungkap perempuan itu.
Bukan perempuan itu saja, beberapa petani kopi di kawasan yang lain, ternyata memanfaatkan mobile phone untuk mendengar hiburan dan informasi dari stasion radio terdekat. Jangan salah duga apabila menemukan para pemetik kopi di Dataran Tinggi Gayo menggunakan handset ditelinganya. Hanset itu pertanda bahwa mereka sedang memantau siaran radio.
Apa yang diungkapkan Nielsen Radio Audience Measurement bahwa saat ini 4 dari 10 orang pendengar radio mendengarkan radio melalui perangkat yang lebih personal yaitu mobile phone, sama sekali tidak meleset. Artinya, pendengar radio di era teknologi informasi  sekarang ini, tidak mesti membawa pesawat radio kemana-mana. Mereka cukup membawa mobile phone dan handset, lalu menyetel siaran radio dari mana saja.
Mirip Opera Sabun
Nah, rencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis kembali sandiwara radio Asmara Ditengah Bencana 2 (ADB2) mulai Rabu 7 Juli 2017, dipastikan akan mendulang sukses sebagaimana siaran ADB1 pada tahun lalu. Dan supaya bisa didengar oleh para petani dan warga di wilayah terpencil, sebaiknya sandiwara radio itu disiarkan oleh sebanyak-banyaknya stasion radio di seluruh Indonesia.
Percayalah, saat jam siar ADB2 berlangsung, para pendengar tidak akan pernah beralih dari frekuensi itu. Lebih-lebih karena cerita ADB2, konon kabarnya, mirip-mirip dengan kisah cinta dalam opera sabun seperti yang disiarkan televisi. Pasti para pendengar cukup terhibur dan penasaran dengan kisah lanjutan dari sandiwara itu.Â
Asyiknya, sandiwara radio ADB2 bisa diikuti dari mana saja. Bagi ibu rumah tangga bisa mendengar kisah ADB2 sambil memasak, driver sambil mengemudi, warga selagi minum kopi atau petani kopi ketika sedang memetik kopi ditengah ladang kopi. Bagaimana supaya mereka tetap setia mengikuti sandiwara radio itu?
Hal paling penting yang harus diperhatikan adalah peranan seorang penyiar. Sosok ini harus memahami, kapan titik kisah itu harus di-cut. Begitulah pengalaman Basaruddin, mantan operator sandiwara Brama Kumbara di RRI Banda Aceh. Ditambahkan lelaki yang kini tinggal di Takengon, pendengar harus dibuat penasaran. Esok hari, mereka akan kembali lagi di depan pesawat radionya.Â