Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Siaran Radio, Media Paling Praktis Untuk Kampanye Sadar Bencana

23 Juni 2017   02:35 Diperbarui: 25 Juni 2017   13:39 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Isteri Pak Santoso, memetik kopi sambil mendengar radio melalui mobile phone (Foto: dokpri)

Bagi saya, radio bukan barang baru. Berkenalan dengan radio sudah dimulai semenjak akhir tahun 1960-an. Memang, pada waktu itu benda yang bernama radio masih tergolong barang mewah. Pemiliknya terbatas. Hanya kalangan "the have" yang memiliki radio, termasuk pengusaha warung kopi dan rumah makan.

Mendengar siaran radio dimasa itu berarti kami harus siap "nongkrong" dan "begadang" di teras rumah tetangga atau di kaki lima warung kopi. Itu resiko mencari hiburan dan informasi di awal era orde baru. Barangkali karena kami terlalu sering "begadang," akhirnya orang tua saya menjual sepeda untuk membeli sebuah radio tua merek Philips.

Waktu itu, belum seluruh permukiman di kota Takengon dialiri aliran listrik. Makanya, untuk menyalakan radio tua itu harus menggunakan baterai kering sebanyak 12 buah. Asyik memang, karena tidak perlu lagi "nongkrong" dan "begadang" di teras rumah tetangga.

Dan, setiap pukul 20.00 WIB, kami sekeluarga sudah "ngumpul" didepan radio mendengar siaran berita dari BBC London. Pastinya, radio tua itu yang memperkenalkan kami sekeluarga dengan dunia luar.

Sandiwara Radio

Budaya mendengar radio terus mengiringi perjalanan hidup ini. Alat penerima gelombang elektromagnetik itu seperti tidak pernah lekang dari sisi kehidupan saya. Lebih-lebih ketika beberapa stasion radio menyiarkan sandiwara berseri. Seperti Brama Kumbara, Saur Sepuh, Tutur Tinular, sampai Babad Tanah Leluhur. Ketika itu, saat masuk jam siar sandiwara itu, benda pertama yang dicari adalah radio.

Sandiwara itu sungguh sangat berkesan. Begitu kisah sandiwara itu difilmkan ke layar lebar maupun ke layar kaca, saya masih tetap menonton film itu, meskipun kisah dan ceritanya sudah hafal diluar kepala. Bukti bahwa informasi siaran radio cukup melekat dalam memori kita. Jadi, keliru yang menilai industri radio mengalami kemunduran sehingga dilihat dengan sebelah mata.

Memang era sudah berubah, zaman pun berganti. Media komunikasi bertambah, dan informasi datang silih berganti. Dimulai dari televisi, sampai smartphone berteknologi tinggi. Ada kelebihan, tak kurang pula kelemahan. Seperti televisi, para pemirsa pasti ingin melihat gambar, bukan ingin mendengar suara. Dengan demikian, pemirsa harus "nongkrong" secara khusus didepan pesawat televisi itu.

Akhir-akhir ini, radio sebagai media populer bagi seorang driver. Meskipun dikatakan alat kuno, rarata pengemudi sangat butuh media informasi yang bernama radio. Sambil mengemudi, seorang driver bisa mendengar hiburan dan memantau perkembangan informasi. Apapun kata orang, siaran radio tetap menjadi pilihan paling praktis sebagai media hiburan dan sumber informasi terkini.

Mendengar Radio dari Mobile Phone

Gambaran saya diatas sesuai dengan hasil temuan Nielsen Radio Audience Measurement bahwa "pada kuartal ketiga tahun ini menunjukkan bahwa 57% dari total pendengar radio berasal dari Generasi Z dan Millenials atau para konsumen masa depan. Saat ini 4 dari 10 orang pendengar radio mendengarkan radio melalui perangkat yang lebih personal yaitu mobile phone (sumber: www.nielsen.com)."

Ditegaskan lagi berdasarkan data Nielsen Radio Audience Measurement kuartal ketiga 2016, bahwa waktu mendengarkan radio per minggu, rupanya bertumbuh dari tahun ke tahun. Jika di tahun 2014 pendengar radio hanya menghabiskan waktu mendengarkan radio 16 jam per minggunya, hasil ini meningkat terus di tahun 2015 (16 jam 14 menit per minggu) dan tahun 2016 (16 jam 18 menit).

Penasaran, bukan? Berdasarkan informasi itu, saya melakukan pengamatan terhadap beberapa petani kopi di Dataran Tinggi Gayo. Suatu hari, saya bertemu dengan Pak Santoso dan isterinya yang sedang memetik kopi di ladangnya, kawasan Bergendal, Kabupaten Bener Meriah.

Disana, saya melihat kabel berwarna putih dari balik jilbab isteri Pak Santoso. Saya tanya: "Itu kabel apa?" Perempuan itu tersipu malu sambil meraba kabel tersebut. Dia mangatakan: "O... ini handset, lagi mendengar siaran radio RRI Takengon." Kemudian, dia mengeluarkan radio berupa mobile phone tua bermerek Nokia Asha warna biru dari saku sweater putih.

"Ngutip kopi sambil dengar radio, jadi nggak terasa capek," ungkap perempuan itu.

Bukan perempuan itu saja, beberapa petani kopi di kawasan yang lain, ternyata memanfaatkan mobile phone untuk mendengar hiburan dan informasi dari stasion radio terdekat. Jangan salah duga apabila menemukan para pemetik kopi di Dataran Tinggi Gayo menggunakan handset ditelinganya. Hanset itu pertanda bahwa mereka sedang memantau siaran radio.

Apa yang diungkapkan Nielsen Radio Audience Measurement bahwa saat ini 4 dari 10 orang pendengar radio mendengarkan radio melalui perangkat yang lebih personal yaitu mobile phone, sama sekali tidak meleset. Artinya, pendengar radio di era teknologi informasi  sekarang ini, tidak mesti membawa pesawat radio kemana-mana. Mereka cukup membawa mobile phone dan handset, lalu menyetel siaran radio dari mana saja.

Mirip Opera Sabun

Nah, rencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis kembali sandiwara radio Asmara Ditengah Bencana 2 (ADB2) mulai Rabu 7 Juli 2017, dipastikan akan mendulang sukses sebagaimana siaran ADB1 pada tahun lalu. Dan supaya bisa didengar oleh para petani dan warga di wilayah terpencil, sebaiknya sandiwara radio itu disiarkan oleh sebanyak-banyaknya stasion radio di seluruh Indonesia.

Percayalah, saat jam siar ADB2 berlangsung, para pendengar tidak akan pernah beralih dari frekuensi itu. Lebih-lebih karena cerita ADB2, konon kabarnya, mirip-mirip dengan kisah cinta dalam opera sabun seperti yang disiarkan televisi. Pasti para pendengar cukup terhibur dan penasaran dengan kisah lanjutan dari sandiwara itu. 

Asyiknya, sandiwara radio ADB2 bisa diikuti dari mana saja. Bagi ibu rumah tangga bisa mendengar kisah ADB2 sambil memasak, driver sambil mengemudi, warga selagi minum kopi atau petani kopi ketika sedang memetik kopi ditengah ladang kopi. Bagaimana supaya mereka tetap setia mengikuti sandiwara radio itu?

Hal paling penting yang harus diperhatikan adalah peranan seorang penyiar. Sosok ini harus memahami, kapan titik kisah itu harus di-cut. Begitulah pengalaman Basaruddin, mantan operator sandiwara Brama Kumbara di RRI Banda Aceh. Ditambahkan lelaki yang kini tinggal di Takengon, pendengar harus dibuat penasaran. Esok hari, mereka akan kembali lagi di depan pesawat radionya. 

Lalu apa contoh kata penutup yang seharusnya dikatakan oleh seorang penyiar?

 "Bagaimanakah kisah selanjutnya? Mampukah Brama Kumbara menghadapi Nyi Basinga yang memiliki ilmu kanuragan? Simak esok hari pada waktu dan gelombang yang sama di radio kesayangan anda," kata Basaruddin memberi contoh.

Terlepas dari semua itu, yang jelas, siaran radio adalah media penyampai informasi paling praktis dan cepat. Pangsa pasarnya tidak terbatas, mencakup seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, dipastikan bahwa siaran radio cukup tepat digunakan sebagai media kampanye budaya sadar bencana. 

Dalam kondisi darurat bencana pun sudah terbukti, radio sebagai sumber informasi utama warga. Kenapa? Siaran radio mampu menjangkau pendengar di kawasan terdampak bencana. Bahkan, melalui gelombang MW atau SW jangkauan siarannya akan sampai ke kawasan terpencil sekalipun. 

Oleh karena itu, saya sependapat dengan Kepala BNPB Willem Rampangilei yang mengatakan dalam acara Kompasiana Nangkring di Graha BNPB, Selasa (6/6/2017) lalu, bahwa "radio dapat digunakan sebagai penyambung hidup atau lifeline ketika krisis dan saat bencana terjadi." 

Akhirnya, semua kita berharap semoga ADB2 menyisakan kesan dan pesan mendalam bagi masyarakat. Dan, sekaligus berhasil menumbuh kembangkan budaya sadar bencana bagi seluruh rakyat Indonesia. Salam tangguh!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun