Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Laba Sama Dirasa Buntung Sama Ditanggung

30 April 2016   11:14 Diperbarui: 2 Mei 2016   08:27 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku tabungan pada BPRS Renggali 

Hari itu, Jumat pagi 8 Februari 2008, saya dan sejumlah undangan hadir di depan kaki lima sebuah rumah toko [ruko], bangunan 4 x 12 meter yang terletak di Jalan Sengeda Takengon. Bangunan itu direncanakan sebagai kantor sebuah bank milik Pemda Aceh Tengah, yang diberi nama Bank Pembiayaan Rakyat Syariah [BPRS] Renggali. Bupati Aceh Tengah selaku pemilik saham mayoritas akan meresmikan operasional bank tersebut. Dalam sambutannya, Bupati Ir H Nasaruddin MM menghimbau kepada para undangan agar bersedia membuka rekening tabungan pada BPRS tersebut.

Setelah acara seremonial selesai, sejumlah lelaki muda mendatangi para undangan sambil menyerahkan selembar aplikasi pembukaan rekening. Menghormati himbauan tersebut, saya dan beberapa undangan yang duduk sederet segera mengisi aplikasi itu. Kurang dari lima belas menit, aplikasi itu sudah diisi dengan data yang dibutuhkan. Aplikasi itu segera saya serahkan kepada resepsionis dengan menyetor dana awal sebesar Rp 500 ribu.

Dengan setoran uang sejumlah itu maka rekening pada BPRS Renggali bisa diaktifkan. Sayangnya, buku tabungan belum dapat dicetak pada hari itu. Sang resepsionis  berjanji, hari Senin 11 Februari, mereka akan mengantar buku tabungan tersebut ke kantor saya. Benar, pagi Senin, mereka sudah menunggu didepan ruang kerja saya. Lalu, diserahkan selembar kertas putih berlipat tiga. Ternyata, itulah buku tabungan sebagai salah satu produk bank tersebut. Saya lirik halaman dalamnya, disana tercetak angka Rp 500 ribu.

Bagi saya, buku tabungan itu sebagai wujud dukungan kepada BPRS Renggali, sebuah bank kecil yang ditujukan untuk membantu membiayai para pedagang sayur dan rakyat kecil. Lalu, kertas putih berlipat tiga itu saya simpan dalam bundel dokumen di rumah, sama sekali tidak pernah tersentuh. Lama kelamaan, saya melupakan keberadaan buku tabungan itu, tentu saja saldonya tidak pernah bertambah. Buku Tabungan Renggali dengan motto Fitrah Dalam Usaha Syariah tersebut terbenam dalam bundel dokumen selama 7 tahun. Sepengetahuan saya, apabila saldo sebesar Rp 500 ribu pada sebuah bank umum, biasanya  akan dipotong untuk biaya administrasi. Saya yakin, saldo tabungan pada BPRS Renggali [kalaupun masih tersisa] tinggal setengahnya.

Sekitar bulan Juni 2014, saya ditugaskan untuk mengikuti sosialisasi Management of Sharia Rural Bank yang diselenggarakan SBC Consulting. Sebenarnya, saya kurang “sreg” mengikuti sosialisasi itu, tetapi karena sifatnya perintah, saya hadir tepat waktu. Begitu acara sosialisasi dimulai, saya terkesima dengan kalimat pertama yang diucapkan sang  narasumber, DR H Saparuddin Siregar. Apa bunyi kalimat itu? “Laba Sama Dirasa, Buntung Sama Ditanggung.” Semua peserta saling pandang, berusaha mencerna makna disebalik kalimat itu. Selagi mencari jawaban, sang narasumber sudah menyambung kalimat tadi: “Semua manusia ingin diperlakukan seperti itu, tidak ada yang ingin rugi sepihak.”

“Wah, ini sosialisasi menarik, bikin kita penasaran,” bisik saya kepada teman disebelah. Dia mengangguk tanda setuju atas pernyataan saya. Biasanya, sosialisasi yang terkait dengan dunia perbankan pasti sangat membosankan, apalagi jika dijejali dengan rumus dan istilah-istilah teknis. Ternyata sosialisasi kali ini berbeda, saya seperti memasuki sebuah dunia baru. Dunia yang menjunjung azas keadilan dan kebersamaan, itulah dunia yang diimpikan oleh setiap orang. Dunia yang tidak ingin menindas, dan tidak ada pihak yang tertindas.

Di acara sosialisasi itulah untuk pertama sekali saya pahami tentang produk-produk bank syariah. Diantaranya produk penghimpunan dana, penyaluran dana dan jasa. Dalam penghimpunan dana dikenal istilah giro syariah, tabungan syariah, dan deposito syariah. Misalnya, giro dan tabungan syariah memiliki: [1] Prinsip Wadiah, yaitu bersifat titipan, on call, keuntungan dan kerugian dari penyaluran dana wadiah menjadi hak milik atau ditanggung bank, dan tidak ada imbalan [bonus] yang dipersyaratkan; [2] Prinsip  Mudharabah: dalam hal ini bank diposisikan sebagai mudharib dan nasabah sebagai shahibul mal, mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha asal tidak melanggar prinsip syariah, dana giro/tabungan harus dinyatakan jelas, tunai bukan piutang, pembagian keuntungan dinyatakan dalam nisbah, tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah.

Kemudian, produk deposito syariah ada dua jenis yaitu deposito mudharabah mutlaqah dan deposito mudharabah muqayyadah. Unsur-unsurnya sama dengan prinsip tabungan mudharabah, kecuali pada unsur nomor dua dari produk deposito mudharabah muqayyadah, disebutkan bahwa: mudharib hanya boleh melakukan usaha yang dipersyaratkan oleh nasabah.

Produk penyaluran dana

Bank umum menyebut penyaluran dana dengan istilah kredit, sedangkan pada bank syariah disebut pembiayaan. Adakah perbedaannya? Pasti, kredit menurut UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Sebaliknya, pembiayaan menurut UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: [a] transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; [b] transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; [c] transaksi jual beli dalam bentuk piutang qaradh; dan [e] transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan/atau unit usaha syariah [UUS] dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.

Perbincangan makin menarik manakala narasumber membahas pembiayaan musyarakah. Landasan hukumnya adalah Fatwa DSN-MUI Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 13 April 2000, Peraturan Bank Indonesia [PBI] Nomor 9/19/PBI/2007 dan Nomor 10/16/PBI/2008, serta Surat Edaran Bank Indonesia [SEBI] Nomor 14/10/DPbS tanggal 17 Maret 2008. Dalam Fatwa DSN-MUI, musyarakah didefinisikan sebagai pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Sementara menurut PBI dan SEBI, pembiayaan mudharabah adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi bagi hasil dalam bentuk musyarakah.

Dari sisi pelaku, menurut SEBI Nomor 10/14/2008, bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu. Bagaimana dengan modal? [1] Pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau tagihan; [2] Dalam hal pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberikan dalam bentuk uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya; [3] Dalam hal pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberikan dalam bentuk barang maka barang tersebut harus dinilai atas dasar harga pasar [net realizable value] dan dinyatakan secara jelas jumlahnya.

Kemudian, pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati. Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak.

Bagaimana bentuk pembagian keuntungan? Pembagian hasil usaha berdasarkan laporan hasil usaha nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan. Lalu, bagaimana jika mengalami kerugian? Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional menurut porsi modal masing-masing.

Paling menarik terkait dengan manajemen. Dalam hal ini, nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati seperti melakukan review, meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha yang dibuat oleh nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan.

Saldo Tabungan Bertambah

Sejenak saya tercenung mendengar penjelasan itu, sungguh sebuah pola kongsi yang saling tidak menindas. Pola ini sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di pedesaan, terutama kongsi antara petani dan pemodal. Teringat pada waktu menyerahkan aplikasi pembukaan tabungan, si resepsionis pernah menanyakan: bapak bersedia dana ini digunakan untuk pembiayaan musyarakah? Saat itu saya tidak paham maksud pertanyaan itu, tetapi saya mengangguk. Atas dasar anggukan itu, si resepsionis mencontreng kotak kecil pada aplikasi tersebut. Ternyata musyarakah yang dimaksud oleh si resepsionis adalah pola bagi hasil.

Esoknya, saya mengacak-acak bundel dokumen di lemari rumah untuk mencari kertas putih berlipat tiga. Akhirnya, saya menemukan kertas putih yang sudah mulai kusam, itulah buku tabungan pada BPRS Renggali. Dihalaman buku tabungan itu hanya tertulis sebaris, pertanda setoran pertama sebesar Rp 500 ribu. Dengan buku tabungan ini, saya ingin membuktikan pernyataan narasumber tadi, benarkah saldo tabungan saya masih tetap sejumlah itu?

“Tolong dicek saldonya,” pinta saya kepada resepsionis BPRS Syariah yang kantornya sudah pindah ke Jalan Mahkamah Takengon.

“Ini buku lama, bisa minta tolong KTP bapak. Saya akan ganti dengan buku baru,” jelas resepsionis.

Saya serahkan KTP kepada resepsionis, tidak lama kemudian, lelaki muda itu menyerahkan buku tabungan berkulit hijau muda. Langkah pertama yang saya lakukan adalah memeriksa saldo tabungan, berapa lagi gerangan dana yang tersisa ditabungan saya? Mata saya terbelalak melihat angka Rp 914.149 tercetak dihalaman tabungan itu. Saya tanya kepada si resepsionis itu: “Apakah angka ini tidak salah?” Dia menyatakan “tidak, pertambahan saldo itu berasal dari bagi hasil atau musyarakah.”

“Hebat,” kata saya sambil menyalami si resepsionis. Hari itu, tanggal 30 Mei 2014, saya telah membuktikan kehebatan bank syariah sebagaimana disampaikan oleh narasumber DR H Saparuddin Siregar. Teori dan dalil yang dijelaskan dalam sosialisasi Management of Sharia Rural Bank sangat tepat dan tidak meleset sama sekali. Atas hasil itu, tiga hari kemudian, saya menambah saldo tabungan dan konsisten menempatkan uang pada BPRS Renggali sampai detik ini.

Paling menarik adalah pertambahan angka bagi hasilnya. Setiap bulan pasti berbeda, terkadang naik dan sering juga turun. Contohnya, saldo saya terakhir Rp 24.113.943, pernah angka bagi hasil hanya Rp 97.769. Namun, pada bulan berikutnya naik mencapai Rp 170.308. Perbedaan itu memperlihatkan bahwa terjadi pasang surut laba usaha yang diperoleh si nasabah, orang yang diberi pembiayaan. Kalaupun satu saat kita tidak memperoleh bagi hasil, harus dipahami, barangkali si nasabah sedang mengalami kerugian. Itulah resiko dari prinsip “laba sama dirasa buntung sama ditanggung.” Pastinya, aku makin mencintai keuangan syariah!

Saran

Dalam SEBI Nomor 10/14/2008 disebutkan bahwa “bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati seperti melakukan review, meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha yang dibuat oleh nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan.”

Bank dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha artinya bank dapat menempatkan seorang konsultan bisnis untuk mendampingi nasabah dalam mengelola usahanya. Tugas konsultan bisnis ini membantu nasabah dalam hal pembukuan, manajemen keuangan, pengelolaan usaha secara benar, sampai kepada pemasaran.

Keberadaan konsultan bisnis itu, selain sebagai langkah antisipatif mengurangi resiko kerugian, juga sebagai upaya meningkatkan profesionalitas si nasabah. Pasalnya, sebagian besar nasabah BPRS atau bank syariah lainnya adalah pedagang kecil, petani, usaha industri rumah tangga maupun usaha kecil menengah. Tentu saja pengetahuan bisnis mereka masih sangat minim. Umumnya, roda bisnis dikelola secara “bakat alam” dan pengalaman belaka, bukan dengan ilmu dan pengetahuan bisnis.

Disamping itu, kehadiran konsultan bisnis akan membuka lapangan kerja baru bagi lulusan sekolah bisnis [ekonomi]. Kehadiran mereka sekaligus sebagai perpanjangan tangan bank untuk mengawasi kesepakatan penggunaan pembiayaan. Bagi penerima pembiayaan, konsultan bisnis menjadi “guru,” tempat bertanya dan berkonsultasi. Diyakini, dikemudian hari para penerima pembiayaan ini akan tumbuh menjadi pengusaha profesional.

Lalu, dari mana sumber dana untuk menggaji konsultan bisnis itu? Dari prosentase dana bagi hasil bagian bank sesuai hasil kesepakatan, bukan bagian nasabah. Artinya, makin besar laba yang peroleh nasabah makin besar [peluang] bagi hasil yang akan diterima bank. Imbasnya apa? Dengan sendirinya akan terdongkrak prosentase fee [gaji] yang diterima oleh konsultan bisnis, termasuk dana bagi hasil untuk penabung. Menarik bukan?

tabungan-bprs1-5724306aee96736905c5e1d9.jpg
tabungan-bprs1-5724306aee96736905c5e1d9.jpg
Bukti bagi hasil laba sama dirasa buntung sama ditanggung, terkadang besar sering pula kecil

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun