Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

KRL Commuter Line Bagaikan Kereta Wisata

29 November 2015   19:12 Diperbarui: 29 November 2015   19:12 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Tiketnya cukup murah, hanya lima ribu rupiah untuk perjalanan sejauh 55 kilometer,” bisik Pak Amir sambil menggesek kartu itu di pintu masuk menuju tempat menunggu KRL.

Keterangan foto: Kompasiana Community Card [KCC] sebagai kartu multi trip KRL Jabodetabek dan kartu untuk satu kali perjalanan [Foto: dokpri]

Kami sangat takjub melihat kebersihan Stasion Gondangdia. Nyaris tidak ditemukan sampah  dilantai dasar bangunan itu maupun dilantai dua [tempat menunggu KRL yang datang dari Stasion Senen]. Biasanya, yang namanya stasion atau terminal, bertebaran aroma bau pesing dan bau busuk sampah. Hari itu, kami benar-benar merasakan sebuah kenyamanan, seperti berada dalam stasion KRL sebagaimana terlihat dalam film-film Hollywood.

KRL Commuter Line berhenti didepan kami, pintunya terbuka secara otomatis. Kami masuk dalam gerbong keempat, disana terlihat beberapa orang penumpang dari Stasion Senen duduk membelakangi jendela. Masih banyak kursi kosong, kami memilih kursi empuk berjok hitam. Duduk berhadapan dengan penumpang didepan kami. Semua diam, asyik dengan gadget ditangan masing-masing. Selang lima belas menit, muncul petugas cleaning service membawa sapu dan serok. Sambil berjalan, lelaki muda itu menyapu lantai gerbong.

“Pantas tidak ada selembar kertas pun tersisa dilantai KRL ini,” bisik saya kepada Pak Amir.

“Itu tandanya manajemen KRL ini sudah bagus,” jawab Pak Amir.

Teringat saat berada dalam gerbong Atjeh Tramp pada awal tahun 1970-an, sampah bertebaran disepanjang lantai gerbong. Bedanya seperti siang dan malam, sulit membandingkannya. Gerbong Atjeh Tramp seperti truk, tempat duduknya bangku kayu, barang penumpang diletakkan di lantai gerbong.

Percikan bara api dari lokomotif diterbangkan angin dan masuk kedalam gerbong, sehingga pakaian kita bolong-bolong. Telinga serasa pekak akibat suara bising dari roda besi yang  beradu dengan rel baja. Debu masuk dibawa hempasan angin, menerobos melalui jendela terbuka. Ini kondisi dahulu, ketika ekonomi negara ini masih terseok-seok, angkutan massal Atjeh Tramp sudah cukup memadai.

Sekarang, dalam gerbong KRL Commuter Line, kami seperti berada dalam sebuah aula. Angkutan massal ini mampu memecah kemacetan dijalanan Jakarta. Pantas, orang lebih suka menumpang KRL Commuter Line, selain murah, juga tepat waktu, sehingga Jakarta-Bogor begitu dekat. Ditambah lagi gerbongnya cukup luas dan nyaman, meskipun terdapat sedikit sentakan akibat gerakan gerbong. Paling menarik, ruanganya full AC, cukup dingin, sehingga sulit menahan datangnya rasa kantuk.

“Ngantuk banget, maunya ada coffee shop, ngopi di kereta ini pasti sensasinya berbeda,” kata saya.

“Apalagi minum kopi Gayo sambil menikmati panorama, rasa kantuk pasti hilang,” tambah Pak Amir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun