“Tiketnya cukup murah, hanya lima ribu rupiah untuk perjalanan sejauh 55 kilometer,” bisik Pak Amir sambil menggesek kartu itu di pintu masuk menuju tempat menunggu KRL.
Kami sangat takjub melihat kebersihan Stasion Gondangdia. Nyaris tidak ditemukan sampah dilantai dasar bangunan itu maupun dilantai dua [tempat menunggu KRL yang datang dari Stasion Senen]. Biasanya, yang namanya stasion atau terminal, bertebaran aroma bau pesing dan bau busuk sampah. Hari itu, kami benar-benar merasakan sebuah kenyamanan, seperti berada dalam stasion KRL sebagaimana terlihat dalam film-film Hollywood.
KRL Commuter Line berhenti didepan kami, pintunya terbuka secara otomatis. Kami masuk dalam gerbong keempat, disana terlihat beberapa orang penumpang dari Stasion Senen duduk membelakangi jendela. Masih banyak kursi kosong, kami memilih kursi empuk berjok hitam. Duduk berhadapan dengan penumpang didepan kami. Semua diam, asyik dengan gadget ditangan masing-masing. Selang lima belas menit, muncul petugas cleaning service membawa sapu dan serok. Sambil berjalan, lelaki muda itu menyapu lantai gerbong.
“Pantas tidak ada selembar kertas pun tersisa dilantai KRL ini,” bisik saya kepada Pak Amir.
“Itu tandanya manajemen KRL ini sudah bagus,” jawab Pak Amir.
Teringat saat berada dalam gerbong Atjeh Tramp pada awal tahun 1970-an, sampah bertebaran disepanjang lantai gerbong. Bedanya seperti siang dan malam, sulit membandingkannya. Gerbong Atjeh Tramp seperti truk, tempat duduknya bangku kayu, barang penumpang diletakkan di lantai gerbong.
Percikan bara api dari lokomotif diterbangkan angin dan masuk kedalam gerbong, sehingga pakaian kita bolong-bolong. Telinga serasa pekak akibat suara bising dari roda besi yang beradu dengan rel baja. Debu masuk dibawa hempasan angin, menerobos melalui jendela terbuka. Ini kondisi dahulu, ketika ekonomi negara ini masih terseok-seok, angkutan massal Atjeh Tramp sudah cukup memadai.
Sekarang, dalam gerbong KRL Commuter Line, kami seperti berada dalam sebuah aula. Angkutan massal ini mampu memecah kemacetan dijalanan Jakarta. Pantas, orang lebih suka menumpang KRL Commuter Line, selain murah, juga tepat waktu, sehingga Jakarta-Bogor begitu dekat. Ditambah lagi gerbongnya cukup luas dan nyaman, meskipun terdapat sedikit sentakan akibat gerakan gerbong. Paling menarik, ruanganya full AC, cukup dingin, sehingga sulit menahan datangnya rasa kantuk.
“Ngantuk banget, maunya ada coffee shop, ngopi di kereta ini pasti sensasinya berbeda,” kata saya.
“Apalagi minum kopi Gayo sambil menikmati panorama, rasa kantuk pasti hilang,” tambah Pak Amir.