Sesaat dia diam.
Aku ikut diam.
“Aku juga...” ucapannya menggantung. Kedua bola matanya menerawang seolah hendak menembus langit yang tak berawan.
“Kau juga, apa Ndan?” tanyaku penasaran.
“Aku... aku juga bercita-cita jadi dokter, Kawan,” jawabnya tiba-tiba.
“Kau mau jadi dokter?” tanyaku tak percaya.
“Ya.”
“Hebat...”
“Tentu hebat. Semua orang akan aku suntik. Korban pertamanya adalah... Kau, Kawan!” ujarnya dengan suara lantang lalu dengan ujung jari telunjuknya dia menusuk pahaku yang bercelana pendek dengan keras. Aku mengaduh.
“Sakit, Ndan!” teriakku.
Dia tertawa, terbahak-bahak.