“Kita harus lebih rajin lagi belajar, Gam. Cuma sekolah yang bisa merobah keadaan hidup kita,” ujarnya kemudian.
Aku tercenung. Mengapa tiba-tiba pikirannya sebagus itu? Aku saja belum berpikiran apakah aku dapat menyelesaikan semua rintangan di masa sekolahku nanti. Sementara dia sudah pernah tinggal kelas, tercatat pula di buku merah guru sebagai anak nakal yang suka berkelahi dan jarang membuat PR. Tapi kenapa dia tiba-tiba mengagungkan masa depannya dengan sekolah? Bukankah itu luar biasa namanya?
“Kita tidak berkehendak lahir dari keluarga miskin. Tapi aku tak ingin menyesal memiliki kedua orangtua yang miskin. Aku kira Kau juga,” katanya lagi.
Aku mengangguk. Membenarkan perkataannya.
“Apa cita-cita Kau nanti kalau sudah besar?” tanyanya sembari menepuk pundakku.
Aku terkejut. Pertanyaan yang berat aku jawab, sebab di benakku masih gelap soal cita-cita.
“Entahlah, Ndan. Rasanya aku belum punya cita-cita,” jawabku sekenanya.
Mendengar perkataanku itu wajah Bondan tampak memerah. Dia marah.
“Mau jadi apa Kau nanti kalau tak punya cita-cita? Mau jadi orang miskin terus?” ucapannya itu menusuk jantungku.
Aku menunduk. Tak berani menatap wajahnya.
“Kalau aku sudah tamat SD nanti, aku harus terus ke SMP. Entahlah emak dan bapakku mampu atau tidak menyekolahkan aku. Lulus SMP aku harus dapat masuk SMA. Terus ke sekolah yang lebih tinggi. Kau lihat si Aceng anak Tionghoa itu kan? Aceng kawan kita di sekolah. Dia anak orang kaya. Ayah ibunya dokter. Sekolah dokter itu mahal,” kata Bondan lagi.