Ketika Darmawi telah keluar dari rumah sakit, anak itu mulai jarang masuk sekolah. Kadang masuk kadang tidak. Bapaknya yang buka bengkel sepeda di depan masjid tak jauh dari sekolah kami, sering aku lihat mengantar dia sekolah. Bila anak itu tidak datang, bapaknya yang datang menemui guru kelas mengantarkan surat bahwa anaknya sakit lagi. Begitu selalu. Kondisi kesehatan sahabatku itu semakin menurun.
Suatu hari di hari minggu, aku minta izin kepada bapak untuk tidak ikut menemani bapak menjahit sepatu. Aku ingin main ke rumah Darmawi, melihat kawanku itu.
“Kau tahu rumahnya?” tanya Ibu.
“Tahu Bu, dulu pernah diajaknya main ke rumahnya di Ujongblang.”
“Apa, Ujungblang? Itu jauh sekali.”
Kening Bapak tampak berkerut ketika aku menyebut nama daerah tempat tinggal Darmawi.
“Sebaiknya jangan kau pergi ke sana. Ikut Bapak saja.”
“Sebentar saja, Pak. Darmawi sakit. Aku ingin melihat dia apakah baik-baik saja. Aku mohon Bapak dan Ibu mengizinkannya,” pintaku mengharap belas kasihan Bapak dan Ibu.
Keduaorangtuaku itu saling pandang. Diam. Menarik napas dalam-dalam.
“Ya sudah. Kau harus berjanji jangan lama-lama di sana. Sehabis dari rumahnya langsung ke tempat Bapak. Bapak antar sampai simpang Masjid Raya, sesudah itu nanti kau naik angkot ke Ujongblang.”
Alhamdulillah, bapak akhirnya memberi aku izin. Aku gembira sekali. Aku salami tangan kedua orangtuaku itu. Hari minggu ibu tidak berjualan kue. Ibu mencuci pakaian orang yang sudah menumpuk di kamar mandi rumahku.