Tentu bukan kali itu saja Din Patuk mencari uang receh di bawah rumah-rumah berkaki milik nelayan itu. Pekerjaan nekad tersebut sudah lama dilakukannya. Sebagian besar anak-anak seusia kami di kampung itu, kata Din Patuk, semuanya pernah mencari uang receh di tanah-tanah di kolong rumah nelayan. Uang-uang itu bisa saja jatuh dari rumah-rumah nelayan itu yang lantainya papan dan berlobang. Ombak menyapunya hingga menyembunyikan uang-uang logam itu disela-sela tiang penyangga rumah.
“Air sudah surut. Ayolah kita jalan menyisiri pantai ini,” kata Din Patuk kemudian.
“Ngapain, Din?” tanyaku.
“Cari uang lagi.”
“Di bawah rumah-rumah itu lagi?”
“Tidak. Kau lihat saja uang itu di sepanjang pantai ini. Biasanya uang-uang logam itu terdampar di sapu ombak sehabis air pasang,” terangnya.
“Memang bisa?”
“Ah, kau terlalu banyak bertanya. Kita buktikan saja nanti,” ujarnya tampak kesal.
Kami berjalan menyisiri pantai. Jalan perlahan-lahan sembari pandangan mata diarahkan ke bawah, melihat-lihat ke tanah kalau-kalau ada uang logam yang terdampar atau menyembul ke permukaan pasir basah. Ternyata benarlah, tak jauh kami berjalan, terlihat beberapa uang logam 25 rupiah dan 50 rupiah. Aku memungut uang itu dengan senang. Uang itu juga sudah berkarat. Aku gosok-gosok kedua sisi uang itu dengan tanah. Lama kelamaan angka nominal uang itu terlihat jelas.
“Nah, apa aku bilang. Uang tidak hanya ada di bawah rumah, tapi juga di pinggir pantai ini, kan?” kata Din Patuk merasa menang.
Aku mengangguk saja. Kami terus berjalan. Mencari uang lainnya. Tapi telah jauh kami berjalan, tak juga bertemu uang berikutnya. Tenggorokan mulai terasa kering. Kami tolehkan pandangan ke belakang, ternyata kami sudah sangat jauh meninggalkan pemukiman tempat kami awal melangkah. Tanpa ada komando, kami balik kanan pulang ke rumah.