“Iya, tapi kalau sering kau lakukan, terus menerus, lama kelamaan rumah ini akan miring, lalu rubuh, dan penghuninya bisa celaka.”
Din Patuk diam. Dia tampak cuek tak memedulikan apa yang aku utarakan. Anak itu bengal sekali.
“Ya sudah, kau tunggu saja disitu,” ujarnya.
Aku tak berkata lagi. Pandanganku lepas menatap laut luas. Ombak mulai reda keangkuhannya. Air laut lama kelamaan surut. Laut tenang kembali.
Aku berjalan-jalan di pinggir pantai. Dari jauh aku lihat Din Patuk mulai bosan dengan pekerjaannya. Sepertinya dia tak menemukan koin lagi. Ketika laut benar-benar surut hingga beberapa meter jaraknya, Din Patuk mendekati aku.
“Kau dapat koin?” tanyanya.
“Tidak.”
“Kenapa tak kau cari?”
“Kan sudah aku bilang, apa yang kau perbuat itu sangat berbahaya. Coba kau bayangkan, kalau rumah itu rubuh, bukan saja di pemilik rumah yang celaka, bisa-bisa kau yang sedang berada di bawah rumah itu juga ikut celaka. Bisa mati kau ditimpa rumah!”
Din Patuk tertawa. Kulit hitamnya berkilat diterpa sinar matahari.
“Tidaklah. Tak mungkin itu,” selanya enteng.