Aku bergegas duduk di samping bapak. Tak lama kemudian ibu datang, duduk juga di kursi meja makan yang hanya tiga buah itu. Kami menunggu menit-menit berbuka. Di masjid tak terdengar lagi orang mengaji. Pertanda akan dibunyikan sirine tanda berbuka. Dan, terdengarlah suara sirine yang meraung-raung panjang dari corong masjid yang tak jauh dari rumah kami itu.
“Alhamdulillah, telah berbuka, ayo baca bismillah, teguk air sedikit dan kita baca doa berbuka,” ujar Bapak.
Bapak memimpin doa berbuka puasa, aku dan ibu mengaminkannya. Tanpa perintah lagi aku serbu semangkuk mentimun Aceh bercampur es dan sirup. Sirup mentimun itu masuk ke tenggorokanku yang kering. Dingin. Ah, lepaslah dahaga seharian berpuasa. Nikmat terasa. Sepuas-puasnya aku meneguk sirup mentimun Aceh itu, yang tentu saja tak aku dapatkan ketika masih tinggal di Tembung. Karena minum terlalu banyak, aku jadi tak kuat makan. Perutku buncit, kekenyangan. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H