Mohon tunggu...
Muhammad Subhan
Muhammad Subhan Mohon Tunggu... -

Muhammad Subhan, seorang jurnalis, penulis dan novelis. Editor beberapa buku. Tinggal di pinggiran Kota Padangpanjang. Bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail. Nomor kontak: 0813 7444 2075. Akun facebook: rahimaintermedia@yahoo.com, email aan_mm@yahoo.com. Blog: www.rinaikabutsinggalang.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Regu Badak (26)

12 Desember 2011   02:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:29 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bapak bergegas memasukkan sepeda anginnya ke dalam rumah. Bapak mengangkat sepeda itu. Bapak meletakkannya di pojok ruang tamu. Karena rumah kontrakan kami kecil, ruangan serba terbatas. Ruang tamu yang tak memiliki perabotan itu terasa lapang bila hanya untuk memarkirkan sebuah sepeda. Aku memegang-megang sepeda itu, kubunyikan belnya yang terdengar suara kring-kring. Berisik sekali. Ibu menghardik aku dan mengatakan perbuatanku itu akan mengganggu tetangga.

Mentimun Aceh yang dibeli bapak dibawa ibu ke dapur. Aku ikuti ibu dan ingin melihat seperti apa mentimun Aceh itu. Aku mengira mentimunnya seperti mentimun biasa yang kecil, tetapi dugaanku salah. Ukuran mentimun itu besar. Sebesar termos air panas. Bentuknya juga unik.

“Wah, timunnya besar sekali ya, Bu?”

“Iya, mentimun ini sangat enak. Pergilah kau ke warung, beli es batu dan sebotol sirup,” ujar ibu.

Aku mengangguk. Ibu memberikan uang. Bapak sedang di kamar. Aku bergegas ke warung yang tak jauh jaraknya dari rumah kami.

Setibanya di warung aku memilih sirup berwarna merah. Aku beli juga sebuah es batu. Aku bayar harganya lalu membawanya pulang.

“Ini sirup dan esnya, Bu.”

Ibu mengambil botol sirup dan es batu yang aku beli. Membuka tutup botol sirup. Di sebuah baskom kecil aku lihat isi mentimun Aceh sudah terletak di sana. Warna mentimun itu putih. Ibu mencampur sirup dan pecahan es batu ke dalamnya. Bercampurlah mentimun itu dengan sirup dan pecahan-pecahan es yang kecil-kecil. Wah, segar sekali kelihatannya. Jakunku turun naik. Air liur tak tahan hendak tumpah. Kalau lama-lama melihatnya bisa batal puasaku, sementara waktu berbuka tinggal 30 menit lagi.

“Pergilah ke depan, jangan kau lihat terus mentimun ini, bisa batal puasamu nanti,” hardik ibu kepadaku. Aku senyum saja, lalu melangkah meninggalkan dapur.

Di masjid terdengar sayup-sayup suara orang mengaji. Tandanya waktu berbuka dan magrib akan tiba. Tentu aku sudah tak sabar lagi ingin lekas berbuka. Tak lama kemudian di meja makan telah dihidangkan ibu makanan dan minuman berbuka.

“Duduklah di sini, sebentar lagi kita berbuka,” seru Bapak yang telah duduk di kursi meja makan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun