13
MALAM TAKBIRAN
Tanpa terasa tujuh bulan sudah kami menempati rumah kontrakan di Kampung Jawa Lama yang tak jauh jaraknya dari laut itu. Secara bertahap bapak yang bekerja sebagai tukang sol sepatu sudah punya langganan tetap. Meski bukan hanya bapak yang bekerja sebagai tukang sol sepatu di Jalan Perdagangan, tapi agaknya banyak pelanggan yang meminta dijahitkan sepatu atau sendalnya yang rusak kepada bapak. Alasannya jahitan bapak bagus dan rapi.
Setiap hari, walau pas-pasan, bapak sudah bisa membawa pulang uang. Setiap hari pula ibu sudah dapat berbelanja beras dan lauk pauk di warung-warung terdekat. Ikan tentu tidak perlu risau bila tinggal di dekat laut, selalu saja ada orang lewat menjajakan ikan segar keliling pemukiman tempat tinggal kami. Teriakan khas si penjual ikan biasanya dengan bahasa Aceh... “Engkot, engkot...”. Maksudnya, “ikan-ikan...”. Bila terdengar suara mereka, ibu segera keluar rumah, memanggil untuk membeli ikan yang dijajakan. Biasanya ikan-ikan itu hanya diletakkan di dalam piring kaleng. Ikan-ikannya pun masih berpasir pertanda baru naik dari laut. Ikan yang dijual bermacam-macam jenisnya, tapi tak jarang ikan teri yang dijual.
Yang paling enak ikan teri halus. Ibu menyebutnya teri medan. Ikan itu biasanya dibuatkan peyek oleh ibu. Tepung beras diaduk, dicampur sedikit kuning telur, irisan bawang, dan bumbu-bumbu lainnya, lalu ikan teri halus itu dimasukkan ke dalam adonan tepung. Kemudian menggunakan sendok ukuran sedang, ikan bertepung itu dimasak ke dalam kuali yang berisi minyak goreng panas. Ketika ikan bercampur tepung itu masuk ke dalam minyak, terdengarlah suara gorengannya. Suaranya bisa meletup-letup. Aromanya jangan kau tanya kawan, sangat nikmat nian. Mengundang selera. Bila kau mencium aroma gorengan ikan buatan ibuku, aku yakin jakun kau akan turun naik dan air liur hendak tumpah di sudut bibir.
Ah, aku tidak hendak memperbincangkan soal masakan ibuku yang memang super hebat itu, sekurang-kurangnya menurut pencicipanku. Di bulan ketujuh tinggal di Kampung Jawa Lama, datanglah bulan puasa. Di Aceh, bila bulan puasa, suasananya sangat luar biasa. Tentu yang paling menyenangkan di dalam hidupku ketika Ramadhan adalah di saat berbuka. Alhamdulillah, ada-ada saja rezeki yang diperoleh bapak dan ibu. Bila ada orang yang meminta dijahitkan sepatunya yang rusak kepada bapak, di bulan puasa biasanya bapak menerima upah lebih. Tentu bapak tidak meminta lebih, si pelanggan saja yang berbaik hati. Maklumlah, di bulan puasa banyak orang yang tiba-tiba tinggi jiwa sosialnya. Mereka menganggap memberi uang lebih itu sebagai sedekah. Tentu tak ada doa menolak rezeki, bapak menerimanya dengan senang hati.
Ibu pun begitu pula, bila sehabis mencuci dan menggosok pakaian orang, ibu diberi upah lebih. Sebagai sedekah juga dari orang yang memberi itu. Memang di bulan puasa bila suka bersedekah akan berlipat ganda pahalanya. Begitulah yang aku dapatkan nasihat dalam pelajaran agama ketika masih bersekolah di Tembung dulu. Walau di Lhokseumawe aku belum bersekolah, tapi pelajaran yang disampaikan guruku dulu itu masih membekas baik di benakku.
Suatu sore bapak pulang kerja dengan membawa sesuatu. Kau tahu kawan, apa yang dibawa bapakku? Sepeda angin. Ya, bapak membeli sepeda walau agaknya sepeda bekas. Berbulan-bulan berjalan kaki setiap hari pergi-pulang tujuh kilometer jauhnya ke pusat kota, tentulah sangat melelahkan. Alhamdulillah, di bulan penuh berkah ini Tuhan memberikan rezeki kepada bapak untuk membeli sepeda. Ibu tampak gembira sekali, akupun bersuka cita.
Bukan hanya sepeda yang dibawa pulang bapak. Tapi digantungan sepeda itu ada sesuatu benda yang dibungkus dengan kulit batang pisang. Entah apa isinya.
“Apa ini, Pak?” tanyaku sembari memegang dua buah benda aneh yang berbungkus kulit batang pisang itu.
“Oh, ini mentimun Aceh. Enak sekali. Nanti ibu yang buatkan. Kau ada penuh puasanya?” tanya Bapak.
“Alhamdulillah, Agam penuh puasa hari ini,” Ibu yang menjawab. Aku tersenyum bangga.
“Oh, bagus. Itu baru anak Bapak.”
Bapak bergegas memasukkan sepeda anginnya ke dalam rumah. Bapak mengangkat sepeda itu. Bapak meletakkannya di pojok ruang tamu. Karena rumah kontrakan kami kecil, ruangan serba terbatas. Ruang tamu yang tak memiliki perabotan itu terasa lapang bila hanya untuk memarkirkan sebuah sepeda. Aku memegang-megang sepeda itu, kubunyikan belnya yang terdengar suara kring-kring. Berisik sekali. Ibu menghardik aku dan mengatakan perbuatanku itu akan mengganggu tetangga.
Mentimun Aceh yang dibeli bapak dibawa ibu ke dapur. Aku ikuti ibu dan ingin melihat seperti apa mentimun Aceh itu. Aku mengira mentimunnya seperti mentimun biasa yang kecil, tetapi dugaanku salah. Ukuran mentimun itu besar. Sebesar termos air panas. Bentuknya juga unik.
“Wah, timunnya besar sekali ya, Bu?”
“Iya, mentimun ini sangat enak. Pergilah kau ke warung, beli es batu dan sebotol sirup,” ujar ibu.
Aku mengangguk. Ibu memberikan uang. Bapak sedang di kamar. Aku bergegas ke warung yang tak jauh jaraknya dari rumah kami.
Setibanya di warung aku memilih sirup berwarna merah. Aku beli juga sebuah es batu. Aku bayar harganya lalu membawanya pulang.
“Ini sirup dan esnya, Bu.”
Ibu mengambil botol sirup dan es batu yang aku beli. Membuka tutup botol sirup. Di sebuah baskom kecil aku lihat isi mentimun Aceh sudah terletak di sana. Warna mentimun itu putih. Ibu mencampur sirup dan pecahan es batu ke dalamnya. Bercampurlah mentimun itu dengan sirup dan pecahan-pecahan es yang kecil-kecil. Wah, segar sekali kelihatannya. Jakunku turun naik. Air liur tak tahan hendak tumpah. Kalau lama-lama melihatnya bisa batal puasaku, sementara waktu berbuka tinggal 30 menit lagi.
“Pergilah ke depan, jangan kau lihat terus mentimun ini, bisa batal puasamu nanti,” hardik ibu kepadaku. Aku senyum saja, lalu melangkah meninggalkan dapur.
Di masjid terdengar sayup-sayup suara orang mengaji. Tandanya waktu berbuka dan magrib akan tiba. Tentu aku sudah tak sabar lagi ingin lekas berbuka. Tak lama kemudian di meja makan telah dihidangkan ibu makanan dan minuman berbuka.
“Duduklah di sini, sebentar lagi kita berbuka,” seru Bapak yang telah duduk di kursi meja makan.
Aku bergegas duduk di samping bapak. Tak lama kemudian ibu datang, duduk juga di kursi meja makan yang hanya tiga buah itu. Kami menunggu menit-menit berbuka. Di masjid tak terdengar lagi orang mengaji. Pertanda akan dibunyikan sirine tanda berbuka. Dan, terdengarlah suara sirine yang meraung-raung panjang dari corong masjid yang tak jauh dari rumah kami itu.
“Alhamdulillah, telah berbuka, ayo baca bismillah, teguk air sedikit dan kita baca doa berbuka,” ujar Bapak.
Bapak memimpin doa berbuka puasa, aku dan ibu mengaminkannya. Tanpa perintah lagi aku serbu semangkuk mentimun Aceh bercampur es dan sirup. Sirup mentimun itu masuk ke tenggorokanku yang kering. Dingin. Ah, lepaslah dahaga seharian berpuasa. Nikmat terasa. Sepuas-puasnya aku meneguk sirup mentimun Aceh itu, yang tentu saja tak aku dapatkan ketika masih tinggal di Tembung. Karena minum terlalu banyak, aku jadi tak kuat makan. Perutku buncit, kekenyangan. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H