“Apa? Korek pasir? Maksud kau pasir itu akan kita jual? Memang bisa?”
Din Patuk tertawa. Giginya kuning karena jarang digosok.
“Bukan. Makanya kau ikut aku. Nanti kuberi tahu caranya.”
“Baiklah, aku ikut.”
Aku pamit kepada ibu. Berganti pakaian yang biasa aku pakai ketika ke laut.
“Kalau bapak tahu kau akan dimarahi lagi,” ujar Ibu dari dapur.
“Aku sebentar saja kok, Bu,” jawabku.
Aku dan Din Patuk melangkah menuju laut. Pemukiman di tepi pantai itu sangat ramai. Hampir semuanya rumah kontrakan. Beragam etnis ada disitu. Semua hidup berdampingan dengan rukun dan damai.
Tak lama kemudian sampailah kami di tepi laut yang sedang berair pasang. Ombak memecah sunyi. Di atas permukaan laut burung camar berterbangan. Di dekat pantai rumah penduduk berderet-deret banyaknya, sepanjang bibir pantai. Umumnya rumah itu milik nelayan. Tapi rumah-rumah itu berbeda bentuknya dengan rumah kami yang sedikit berjarak dari bibir pantai. Rumah-rumah itu memiliki kaki penyangga yang terbuat dari balok-balok kayu. Tujuannya ketika ombak pasang, air laut tidak masuk ke dalam rumah. Ombak berkejar-kejaran hingga menyapu tanah di bawah rumah-rumah nelayan itu.
Aku lihat Din Patuk merunduk masuk ke kolong-kolong rumah itu. Entah apa yang dikerjakannya. Aku hanya melihat saja. Ombak membasahi baju dan celananya. Aku lihat dia mengerjakan sesuatu. Kedua tangannya mengorek tanah yang menimbun tiang-tiang penyangga rumah itu. Dia beraksi dari satu tiang ke tiang lainnya. Entah mencari apa.
“Kau sedang ngapain tu, Din?” tanyaku.