Mohon tunggu...
Muhammad Subhan
Muhammad Subhan Mohon Tunggu... -

Muhammad Subhan, seorang jurnalis, penulis dan novelis. Editor beberapa buku. Tinggal di pinggiran Kota Padangpanjang. Bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail. Nomor kontak: 0813 7444 2075. Akun facebook: rahimaintermedia@yahoo.com, email aan_mm@yahoo.com. Blog: www.rinaikabutsinggalang.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Regu Badak (24)

10 Desember 2011   08:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:35 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Novel Muhammad Subhan

12
MENCARI UANG RECEH

Bapak akhirnya bekerja. Menjahit sepatu. Bapak mendapat tempat di sebuah gang di samping pertokoan di Jalan Perdagangan tengah kota Lhokseumawe. Bapak membuat sebuah peti setinggi lutut untuk menyimpan peralatan sol dan sepatu-sepatu bekas. Di dekat tempat kerja bapak ada sebuah musala. Pekerja-pekerja toko banyak yang salat di musala itu. Bila tiba waktu Zuhur dan Asar bapak juga salat di musala itu.

Peralatan sol sepatu di dalam peti bila senja tiba bapak simpan di bawah jenjang musala. Bapak menguncinya dengan rantai sehingga tidak ada orang usil yang merusaknya. Bapak yakin di bawah jenjang musala itu aman menyimpan barang. Tentunya bapak sudah meminta izin kepada pengurus musala untuk menyimpan peti itu di bawah jenjang ketika bapak pulang.

Begitulah keseharian kerja bapak. Minggu-minggu pertama bekerja sebagai tukang sol sepatu, belum seorang pun bapak mendapatkan pelanggan. Di sepanjang pelataran pertokoan orang hanya berlalu lalang saja. Aku ketahui itu karena aku sering dibawa bapak ke tempat kerjanya. Pekan-pekan berikutnya barulah keberadaan usaha bapak diketahui orang. Dalam sehari hanya satu dua orang saja yang memakai jasa bapak. Itupun jahitan yang ringan-ringan saja. Upahnya juga sangat murah. Tak jarang bapak pulang ke rumah dengan tangan hampa. Tapi ibu mulai memahami kesulitan bapak. Ibu tidak lagi banyak menuntut. Bapak dan ibu juga jarang aku lihat bertengkar, kecuali sewaktu masih di Tembung dulu. Bapak dan ibu sudah mulai akur, dan semakin dapat memahami kesulitan hidup sejak pindah di tempat baru.

Karena aku belum sekolah, aku hanya banyak bermain saja. Di tempat tinggalku, di Kampung Jawa Lama yang berada di pinggir laut itu, aku berteman dengan anak-anak tetangga. Temanku yang paling akrab adalah Din Patuk. Tak tahu aku kenapa dibelakang nama si Din yang panjangnya Syamsuddin itu ada kata Patuk. Entah karena dia pernah dipatuk ular atau bagaimana. Aku tak mempersoalkan itu. Din Patuklah yang selalu menemani aku bila kami bermain-main di pinggir laut.

Usiaku dan Din Patuk sebaya. Dia sudah duduk di kelas lima. Seharusnya aku juga kelas lima bila masuk sekolah. Tapi aku harus menganggur setahun lamanya hingga ekonomi bapak dan ibu benar-benar mencukupi memasukkan aku ke sekolah. Di masa itu Presiden Suharto sedang giat-giatnya mengkampanyekan pembangunan di segala bidang, termasuk pendidikan. Semua anak harus sekolah. Tapi uang sekolah tetap saja selangit. Maka bapak memutuskan aku tidak sekolah dulu. Aku hanya menerima dengan lapang dada.

Setiap pagi dan petang Din Patuk mengajakku bermain di pinggir laut. Dia anak laut sejati. Kulitnya hitam kecoklatan karena sering mandi laut dan berjemur di terik panas matahari. Bapaknya seorang nelayan. Permainan yang paling sering kami lakukan adalah adu bola pasir. Ah, itu permainan yang sangat mengasyikkan sekali. Pasir pantai tidak semuanya putih. Ada bagian-bagian tertentu di pasir itu yang berwarna hitam. Pasir pantai berwarna hitam biasanya digunakan orang untuk membuat telur asin. Telur itik yang akan diasinkan dibalut dengan pasir hitam pantai dan dicampur dengan abu cuci piring. Pasir dan abu itu digarami lagi, lalu disimpan beberapa hari lamanya, sehingga menjadi asinlah telur itik itu. Nah, pasir pantai yang berwarna hitam itu, dibentuk bulatan sebesar bola kasti, dikeringkan dengan mencampurnya dengan pasir pantai yang berwarna putih, lalu lama kelamaan mengeras. Setelah keras dibuatlah arena adu di pasir itu berbentuk seluncuran dua sisi, masing-masing pemain menggelindingkan bola pasirnya dan beradu antara satu dengan lainnya. Bila bola pasir pecah, maka si pemilik bola pasir itu kalah. Wah, pokoknya itu permainan yang paling menyenangkan sekali.

Selain itu aku juga suka membuat istana-istana pasir di pinggir pantai. Aku memimpikan kelak punya istana megah yang wah. Di sekeliling istana itu kubangun taman-taman yang indah. Ada pengawalnya di gerbang depan dan pintu belakang. Di menara-menaranya yang tinggi aku pasang bendera kertas, merah putih. Bendera negeriku, yang selalu berkibar gagah. Ada bukit dan gunung. Ada jalan yang dilewati kuda-kuda. Wah, pokoknya keren sekali. Kadang bila malam aku bermimpi tidur di atas permadani yang empuk, dan banyak peri-peri yang bernyanyi di dalam istana itu.

Tapi semua itu hanya imajinasi kanak-kanakku saja. Tentu tak ada istana seperti itu.

Suatu hari Din Patuk datang ke rumahku. Dia mengajak bermain ke pinggir pantai. Hari sangat terik. Ombak di laut terdengar berdebur sayup-sayup. Laut sedang berombak besar.

“Kau mau ikut mencari uang?” ajak Din Patuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun