Aku lihat bapak melongok kepadaku.
“Sudah, Pak. Gak bisa tidur, panas sekali,” jawabku.
“Bapak dapat kerja,” kata Bapak.
“Iya, Pak? Alhamdulillah.”
“Iya. Doakan Bapak. Kalau bapak sudah ada uang, tahun depan Kau sekolah. Masih mau sekolah, kan?”
Aku tersenyum.
“Tentu, Pak. Aku ingin sekolah. Aku berdoa buat Bapak dan Ibu.”
Setelah itu bapak salat Zuhur. Salat bapak khusyuk sekali. Doanya panjang. Bila malam bapak tadarusan Alquran. Suara tuanya terdengar berat. Tapi sejuk di hati siapa saja yang mendengar. Bila tak ada pekerjaan lain bapak mendengar radio bututnya yang kadang-kadang tak mendapat sinyal. Seperti suara lebah mendengung saja yang keluar. Bapak suka menyimak berita-berita luar negeri. Ketika itu perang Teluk sedang hangat menjadi perbincangan di radio.
Usai salat Zuhur bapak berpamitan lagi pada ibu. Kata bapak mau ke tempat kawannya, mendalami lagi soal jahit menjahit sepatu yang akan menjadi profesi baru bapak. Begitulah yang dilakukan bapak beberapa hari berikutnya, hingga bapak benar-benar menguasai soal pekerjaan barunya itu.
“Bapak butuh uang untuk modal, Bu?” kata Bapak suatu malam.
Ibu diam. Kemana uang hendak dicari untuk membantu bapak memulai usahanya? Uang yang disimpan ibu untuk membayar uang sewa rumah bulan depan yang tinggal sepekan lagi. Rumah kontrakan kami dibayar setiap bulan, bukan tahunan.