“Kau benar, Din. Ini, aku kalah dan secara kejam digusur dari kota itu. Kau sendiri tahu, aku membangun rumah dengan susah payah. Ah, kalau diingat-ingat, mau jatuh juga airmata ini,” jawab Bapak. Matanya menerawang.
“Sudahlah, Bang. Semoga di sini kehidupan Abang dan keluarga lebih baik.”
“Semoga, Din. Mohon Kau membantu mencarikan kami rumah. Kasihan ibunya si Agam dan anakku itu. Aku mau dia terus sekolah,” kata Bapak lagi.
“Besok saya bantu mencarikan. Sekarang istrihatlah Abang dan Kakak dahulu. Tapi beginilah keadaan rumahku Bang, jauh disebut layak,” kata kawan Bapak itu merendah.
“Rumah Kau ini masih lebih baik dibanding kami yang tak punya rumah,” jawab Bapak tak mau kalah.
Tertawalah semua yang ada di rumah itu.
Atas kebaikan hati keluarga Pak Fakhruddin, bermalamlah kami di rumahnya. Dibentangnya tikar di ruang tengah yang tidak besar. Diberinya sebuah kipas angin kecil. Baik siang maupun malam hari di Lhokseumawe, panasnya hampir sama. Malam itu aku membuka baju lantaran panas sekali. Nyaris kami tak dapat tidur. Nyamuk banyak pula, besar-besar badannya. Aku cemas kalau-kalau diserang malaria. Mungkin nyamuk-nyamuk itu bersarang di selokan yang kotor dengan tumpukan sampah di samping rumah. (bersambung)
Catatan: Novel ini belum pernah dipublikasikan. Pertama di Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H