“Seandainya kawan bapak tak di rumah, apa akal kita lagi?” tanya Ibu cemas. Ibu khawatir kalau-kalau orang yang dicari tidak dijumpai, sementara malam akan tiba. Entah di mana kami akan menumpang tinggal nanti. Bekal yang dibawa tidak seberapa. Bapak harus mencari kerja. Ibu akan membantu bapak juga nanti, apa yang bisa dikerjakan untuk menambah penghasilan di rumah. Aku? Duhai, seandainya tubuhku besar, sudah dewasa, ingin aku berkerja keras membantu kedua orangtuaku itu. Tapi apa daya, aku masih kanak-kanak.
“Semoga kawanku ada di rumahnya. Ibu berdoa saja,” Bapak menenangkan ibu. Tapi wajah ibu tetap cemas juga.
Tak lama kemudian, ada angkot kosong yang akan mengantar kami ke alamat tujuan. Rumah kawan bapakku berada di tengah kota Lhokseumawe. Ia orang Jawa Medan, alias orangtua Jawa yang menumpang lahir di Medan. Sama juga seperti aku, ayahku Aceh ibuku Minang, aku lahir di Medan. Bisa disebut aku ini GAM. Kepanjangannya bukan ‘Gerakan Aceh Merdeka’, tapi ‘Gabungan Aceh Minang’. Di waktu usia muda bapakku yang orang Aceh itu merantau ke Medan, ibuku yang orang Minang juga merantau ke Medan. Menikahlah mereka di sana. Buah cintanya lahirlah aku di tengah kota Medan hingga akhirnya kami digusur oleh pesatnya pembangunan di kota itu.
Ah, aku tak mau mengenang lagi peristiwa pahit yang menyebabkan kami terdampar di negeri Aceh yang panas ini.
Sampailah kami di rumah kawan bapakku. Kawan, jangan kau bayangkan rumah kawan bapakku itu mewah, tidak sama sekali. Bahkan jauh dari rumah sederhana. Dinding rumahnya bertempelan kertas koran. Lantainya semen kasar. Nyaris tak berventilasi udara karena rumah itu berada di deretan rumah petak. Sebuah selokan besar terbentang di samping rumah. Baunya minta ampun. Sampah menumpuk di selokan itu. Tepatnya, kawan bapakku itu tinggal di perkampungan kumuh.
Kedatangan kami disambut ramah oleh kawan bapakku yang bernama Fakhruddin. Ia memmpunyai seorang istri dan dua orang anak laki-laki yang masih kecil. Di rumahnya itulah kami menumpang tinggal sampai bapak mendapatkan rumah untuk kami kontrak.
“Alhamdulillah, Abang dan keluarga sudah sampai dengan selamat di Lhokseumawe,” sambut kawan bapakku itu.
Terlibatlah pembicaraan yang sangat akrab diantara dua orang sahabat yang lama tak bersua itu.
“Tak ada rencana Kau pulang ke Medan?” tanya Bapak kepada kawannya.
“Ah, tidak, Bang. Medan itu tak bersahabat. Aku tak sanggup tinggal di sana lagi.”
Bapak tersenyum.