Dan, semua guru ikut menangis.
Aku dan bapak pulang meninggalkan sekolah, dilepas Pak Lukman hingga ke halaman. Sekali-sekali aku menoleh ke belakang. Sekali-sekali aku pandangi ruang kelasku yang didalamnya teman-temanku sedang belajar. Di kelas Bondan, anak itu juga tak ada. Sejak peristiwa penggusuran yang menghancurkan rumah kami, aku tak tahu kemana Bondan dibawa orangtuanya. Begitupun Anton, kami tak berjumpa lagi.
Sesampainya di rumah Nek Ani, aku lihat ibu telah mengemasi semua barang-barang yang akan dibawa ke Aceh. Beberapa barang yang sedikit berharga telah dijual ibu kepada warga di sekitar rumah Nek Ani. Uangnya buat kebutuhan selama di jalan, juga buat persiapan hidup di daerah yang baru. Dan, malam itu, seperti malam habis penggusuran, aku tak dapat memejamkan mata. Aku masih terbayang wajah Bondan yang menangis berteriak-teriak kepada aparat yang merobohkan rumahnya. Dia berteriak-teriak menyebut-nyebut cita-citanya yang akan menjadi dokter. Entah di mana dia kini. Aku berharap, sebelum meninggalkan Tembung, aku bertemu dia. (bersambung)
Catatan: Novel ini belum pernah dipublikasikan. Pertama di Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H