Novel Muhammad Subhan
Bapak menunggu di ruang kepala sekolah. Aku berjalan mengikuti Pak Lukman ke ruang kelas. Dari kejauhan masih kudengar suara sorak sorai teman-temanku yang belajar bahasa Indonesia. Pelajaran bahasa Indonesia di kelas kami cukup menyenangkan. Bu Husna gurunya. Dia guru yang paling pintar menggembirakan hati kami. Setiap pelajaran bahasa Indonesia masuk, kami menyambut dengan senang. Khususnya pelajaran mengarang. Semua kawan-kawanku suka mengarang.
“Assalamualaikum...”
Pak Lukman masuk ke ruang kelas. Semua perhatian kawan-kawanku tertuju ke pintu. Aku berdiri di samping Pak Lukman. Salam Pak Lukman disambut serentak oleh semua penghuni kelas.
“Waalaikumussalam...”
Sesaat terdengar suara bisik-bisik kawan-kawanku yang menyebut namaku. Mungkin mereka telah tahu peristiwa penggusuran rumahku oleh aparat dua hari kemarin. Sejenak suasana gaduh. Semua mata mengarah kepadaku dan kepada Pak Lukman.
“Tenang anak-anak. Kepala sekolah ingin berbicara kepada kalian.” Bu Husna menenangkan semua murid. Sejenak suasana hening. Pak Lukman berdiri di depan kelas. Aku mengikuti Pak Lukman berdiri di sampingnya.
“Anak-anak, apa kabar kalian?”
“Baik, Pak....” jawab teman-temanku serentak.
Itulah keistimewaan Pak Lukman, kepala sekolahku. Dalam kondisi apapun, dia selalu menyapa semua orang, menanyakan kabarnya, ada baik atau tidak. Usai menyapa barulah ia bicara pokok persoalan. Sungguh kepala sekolah yang sangat bijaksana.
“Begini, Bapak ingin menyampaikan sesuatu kepada kalian. Agam, teman kalian ini akan pindah ke Aceh. Jadi, dia ingin pamitan dengan kita. Mari kita dengarkan Agam bicara.”