Aku dan bapak disambut Pak Lukman, kepala sekolah yang baik hati. Dia telah tahu peristiwa penggusuran rumah kami di tengah sawah. Koran kemarin besar-besar memberitakan peristiwa itu, lengkap dengan fotonya yang menjadi halaman utama. Semua orang telah tahu. Tapi adakah yang tahu bagaimana perasaan kami yang menjadi korban penggusuran itu? Entahlah. Ini Medan, bung! Kalimat itu yang sering aku dengar bila membanding kerasnya hidup di Medan.
“Bapak ada sehat? Agam bagaimana?” tanya Pak Lukman mencairkan suasana ketika menyambut kami di ruang kerjanya yang nyaman.
“Alhamdulillah, sehat, Pak,” jawab Bapak. Wajah bapak tak sedikitpun memancarkan semangat. Berat sekali pikirannya. Itu aku rasakan.
“Saya juga sehat, Pak,” jawabku, menunduk dan tak berani memandang wajah Pak Lukman.
“Syukurlah, senang saya mendengarnya. Agam sudah dua hari tak masuk sekolah, ya? Jangan patah semangat, teruslah bersekolah.”
“Kami akan pindah ke Aceh, Pak,” potong Bapak.
“Ke Aceh? Bapak sungguh-sungguh?” tanya Pak Lukman seolah tak percaya akan kata-kata bapak.
“Iya, Pak. Di sini kami tak ada lagi punya tempat tinggal.”
Mata bapak berkaca-kaca. Bapak tak sanggup menahan kesedihannya.
“Sabar, Pak. Semoga Allah memberi hikmah atas ujian ini.”
“Terima kasih, Pak.”