Maka mulailah aku bekerja dengan rajin. Nek Ani terheran-heran melihat semangat kerjaku yang tinggi. Beberapa pengunjung warung Nek Ani mulai akrab denganku lalu ada beberapa diantara mereka yang menyelipkan serupiah dua rupiah ke kantong saku celana yang kupakai. Tentu saja aku senang.
Ketika hendak pulang Nek Ani ingin menghadiahkan aku dua tusuk sate kerang seperti biasa yang aku terima setiap kali selesai bekerja di warungnya. Tapi kali itu aku menolak. Nek Ani heran, lalu bertanya kepadaku.
"Kenapa Kau tolak pemberian Nenek?"
Aku senyum malu. Sembari memutar-mutar ujung baju akupun menyampaikan keinginanku agar mendapat sedikit uang lebih.
"Maaf Nek, kalau Nenek tidak keberatan, dua tusuk sate kerang itu Nenek ganti dengan uang, ya?" ujarku kemudian. Wajahku memerah karena malu.
Kening Nek Ani berkerut.
"Lho, Kau tak suka lagi makan sate kerang buatan Nenek?" tanyanya heran.
Aku kikuk. Kehilangan kata-kata untuk menjawab.
"Bukan Nek, aku suka. Tapi... anu... Nek, aku..."
"Tapi kenapa?" tanyanya lagi.
Aku bertambah bingung harus menjawab apa. Aku tak mungkin berterus terang uang itu untuk membantu meringankan masalah bapak. Aku, Bondan dan Anton sudah berjanji untuk merahasiakan masalah itu, agar ceritanya tidak semakin menyebar kemana-mana.