“Jualan apa?”
“Tebu, Pak,” jawab Bondan. Aku diam.
“Oh, tebu. Dari mana kalian dapatkan tebu itu? Ada laris jualannya?” tanya pak Lukman lagi.
Bondan semangat menjawab. “Alhamdulillah, kami mendapatkannya dengan bekerja di ladang tebu penduduk, Pak. Upahnya kami diberi tebu, lalu kami jual kembali agar kami dapat uang jajan.”
Pak Bondan mengangguk-angguk. Aku masih diam.
“Hmm, Bapak senang mendengarnya. Kalian anak yang rajin bekerja. Bapak tidak melarang kalian berjualan di sekolah, asal jangan mengganggu pelajaran dan tugas-tugas yang diberikan guru harus dikerjakan semuanya,” kata Pak Lukman sembari menepuk-nepuk pelan pundak kami berdua.
Alhamdulillah, Pak Lukman tidak marah. Aku mengira kami akan diceramahi habis-habisan lalu diskor dari sekolah karena berjualan tebu. Nyatanya tidak. Pak Lukman benar-benar kepala sekolah yang bijaksana, tahu keadaan muridnya yang kurang mampu seperti kami.
“Siap, Pak. Kami laksanakan nasihat Bapak!”
Bondan mengucapkan kata-kata itu sembari berdiri dan meletakkan tangan kanannya di kening kepalanya. Dia memberi hormat kepada Pak Lukman. Aku pun ikut-ikutan berdiri. Memberi hormat pula. Pak Lukman yang melihat ulah kami tersenyum lalu tertawa.
“Ya, ya. Pulanglah kalian. Jangan sampai lupa belajar di rumah,” ujarnya lagi.
Kami menggangguk senang lalu mencium tangan pak Lukman. Kami pamit dari ruang kerjanya. Di luar sekolah suasana telah sepi. Aku dan Bondan pulang dengan hati lapang. (bersambung)