“Ada apa ya Pak, Bapak memanggil kami?” tanyaku lagi. Pak Lukman masih sibuk dengan pekerjaannya. Melihat kami pun tidak. Dia berdehem sekali-kali.
“Iya, sebentar. Saya selesaikan ini dulu,” jawabnya singkat.
Setelah itu suasana hening.
Di luar terdengar lonceng dipukul, tanda jam sekolah berakhir. Mungkinkah kami diskor dari sekolah hanya gara-gara berjualan tebu? Bermacam pikiran menghantui kami.
Barulah ketika berkas terakhir selesai ditandatangani Pak Lukman, orang tua itu memandang kami dengan senyum, lalu berdiri dan duduk di kursi tamu bersama kami.
“Agam, Bondan, bagaimana kabar orangtua kalian?” tanyanya ramah.
“Baik, Pak,” jawab kami serentak. Lalu saling pandang lagi.
“Syukurlah. Bapak senang mendengarnya.”
Pak Lukman memandang aku dan Bondan satu persatu. Kami tak berani memandang wajah Pak Lukman, takut kalau dia marah.
“Oh ya, Bapak dengar kalian berjualan di sekolah. Apa benar?” tanya Pak Lukman kemudian.
“Iya Pak,” jawab kami lagi serentak. Jantungku mulai berdegup cepat, takut kalau-kalau pak Lukman marah.