Mohon tunggu...
Muhammad Subhan
Muhammad Subhan Mohon Tunggu... -

Muhammad Subhan, seorang jurnalis, penulis dan novelis. Editor beberapa buku. Tinggal di pinggiran Kota Padangpanjang. Bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail. Nomor kontak: 0813 7444 2075. Akun facebook: rahimaintermedia@yahoo.com, email aan_mm@yahoo.com. Blog: www.rinaikabutsinggalang.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Regu Badak (11)

30 Oktober 2011   02:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:18 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Melihat kami berjualan di kelas beberapa orang guru mendukung dan memberikan semangat. Hanya seorang guru yang menjadi halangan kami, dialah Bu Titin, guru matematika yang cerewet. Kau ingatkan ketika dulu aku didaftarkan bapak ke sekolah dan disambut Bu Titin dengan ketus karena tangan kananku tak sampai menjangkau ujung telinga kiri? Ya, dialah orangnya. Guru yang super cerewet di sekolah itu. Walau nilai matematikaku bagus semua, tapi kalau melakukan kegiatan lain yang tak ada kaitannya dengan sekolah, habis deh kami diceramahinya.

“Kau mau sekolah atau mau berdagang? Kalau berdagang tak usah sekolah, sana buka kedai di depan pagar sekolah!” hardiknya suatu hari.

Wajah Bondan memerah. Aku takut. Kalimatnya itu menciutkan nyali kami.

Di sekolah itu aku dan Bondan anak yang tergolong dari keluarga kurang mampu. Kami kadang diberi uang jajan oleh orangtua tapi seringnya tidak berjajan. Aku sering sedih melihat keadaanku. Tapi syukurlah bapak dan ibu masih mau menyuruhku sekolah, dengan harapan ketika dewasa kelak hidupku berobah.

Aku sering melihat kawan-kawanku yang orangtua mereka mampu jajan dengan sangat banyaknya di sekolah. Di pojok taman sekolah aku hanya dapat melihat dengan jakun turun naik ketika mereka mencicipi makanan. Nikmat nian. Tapi apa hendak dikata, aku tak punya apa-apa.

Bondan juga demikian. Tak ubahnya dengan keadaanku. Karena kedua orangtuanya tak mampu membelikan buku akhirnya ia tak punya bahan bacaan untuk mengulang pelajaran. Di masa itu belum ada mesin fotocopy. Sebab keadaan itu pula ia pernah tinggal kelas.

Tapi sejak ia mengungkapkan cita-citanya ingin menjadi dokter, saat itu pula dia bertekad rajin belajar. Tak sungkan dia bertanya kepadaku bila ada pelajaran yang tak diketahuinya. Dengan senang hati aku memberi tahu, sebab hanya dialah satu-satunya sahabat terbaikku.

Suatu hari karena masalah kami berjualan tebu di sekolah semakin luas diketahui semua orang, khususnya guru dan kawan-kawan kami, akhirnya aku dan bondan dipanggil ke ruang kepala sekolah. Aku dan bondan mengira kami akan dimarahi Pak Lukman, kepala sekolah kami.

“Bapak memanggil kami?” tanyaku takut-takut.

“Iya, masuklah,” kata Pak Lukman.

Aku dan Bondan masuk dan duduk di kursi tamu di ruangan kepala sekolah. Beberapa saat suasana hening. Pak Lukman masih sibuk menandatangani berkas-berkas yang menumpuk di atas meja kerjanya. Aku dan Bondan saling pandang karena seolah dibiarkan saja diam di kursi tamu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun