Bondan dan keempat anak itu melihat ke arahku.
“Buat apa kita berkelahi? Gak ada gunanya, bukan? Begini saja, kita adu layangan. Gimana? Yang menang harus berjanji pergi dari lapangan ini ya?” ujarku sok diplomatis. Apa yang kuomongkan itupun meluncur begitu saja.
“Kalau kau kalah?” hardik Ucok dengan sorot matanya yang tajam.
Ufh, aku gelagapan. Kalau aku kalah, apa hukuman yang harus aku terima? Lama juga aku hilang akal. Diam beribu bahasa.
“Ah, begini saja. Kalau aku kalah, kubelikan kalian layang-layang,” jawabku asal bicara.
Bondan melirikku. Keningnya terlihat berkerut.
“Gila, Kau. Mana uang Kau beli layang-layang empat buah banyaknya?” Bondan marah.
Keempat anak itu tertawa terkekeh.
“Oke juga usulan Kau itu. Baiklah kalau begitu, ayo kita berlaga,” Ucok mengajak kawan-kawannya menjauh. Mereka mempersiapkan benang dan layangan di sudut lapangan. Angin sangat mendukung untuk mengadu layangan. Lapangan rumput itu luas. Tak ada halangan pepohonan yang tumbuh di sekitar.
Lama juga aku terpaku. Bingung apa yang harus kuperbuat. Akankah aku dapat memenangkan pertandingan? Aku tidak mahir adu layangan. Kalaulah Bondan nanti membantu, tentulah dia tak dapat sekaligus mengalahkan empat layangan yang menyerang layangan kami. Konon mereka juga jago-jago main layangan. Tapi gendang perang sudah dibunyikan. Tak ada lagi kata mundur ke belakang. Kalaulah lari dari pertandingan itu, hendak kemana muka ini dibawa pergi?
Ah, tak banyak lagi yang aku pikirkan. Tanpa bicara kepada Bondan, kusiapkan benang dan layangan. Apapun yang terjadi, terjadilah. Aku telah siap menerima. Kalaupun aku kalah, aku terima pula dengan jiwa besar. Entahlah bagaimana caranya nanti aku siapkan hadiah layangan buat mereka yang menang. Pikiranku fokus untuk memenangkan pertandingan.