Mohon tunggu...
Muhammad Subhan
Muhammad Subhan Mohon Tunggu... -

Muhammad Subhan, seorang jurnalis, penulis dan novelis. Editor beberapa buku. Tinggal di pinggiran Kota Padangpanjang. Bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail. Nomor kontak: 0813 7444 2075. Akun facebook: rahimaintermedia@yahoo.com, email aan_mm@yahoo.com. Blog: www.rinaikabutsinggalang.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Regu Badak (7)

24 Oktober 2011   10:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:34 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Novel Muhammad Subhan

Sampailah kami di gundukan bukit kecil yang banyak pohon petainya itu.

“Kau panjatlah pohon itu, kumpulkan petai yang masak. Itu obat cacing Kau,” katanya masih tersenyum.

“Petai obat cacing? Darimana pula Kau dapat ilmu itu?” tanyaku heran.

“Jangan kau anggap remeh ilmuku, walau pernah tinggal kelas, aku tahulah soal obat cacing, ha-ha-ha...,” tawanya lagi. Bangga. Nampak kesombongannya.

“Gak ah, pohonnya tinggi,” kataku menolak.

“Kau ini bagaimana? Sudah jauh kita berjalan tak mau pula Kau ambil obat cacing Kau itu. Rasain nanti perut Kau dimakan cacing!” ujarnya sembarang ngomong. Lalu dia terkekeh lagi.

Akhirnya aku turuti juga perintahnya. Takut kalau dia marah lalu meninggalkan aku seorang diri di tempat sunyi itu. Tubuhku yang kecil dan kurus sangat ringan memanjat pohon petai yang lebat buahnya itu. Kalau bondan yang yang manjat tentu kesulitanlah dia, badannya bongsor. Kepayahan dia mengangkat daging badannya yang gempal itu.

Sesampainya di dahan pohon petai yang bercabang itu, aku patahkan ranting yang menggantung rimbun buah petai yang masak. Banyak sekali buahnya. Jarang orang memetiknya. Entah punya siapa batang petai itu. Tapi nampaknya tak bertuan.

Petai-petai itu aku jatuhkan ke bawah. Bondan dengan sigap menangkapnya. Dia sudah menyediakan kantong plastik besar. Petai itu dibersihkan dari daun-daunnya yang halus. Yang masuk ke kantong plastik hanya buah petainya saja. Dalam waktu sekejap penuh kantong itu dengan petai. Lalu aku diperintahnya turun.

“Men, sudah penuh nih. Turunlah Kau, naik pula ular nanti mematuk kaki Kau itu,” teriaknya menakut-nakuti aku.

Aku pun sudah penat di atas dahan petai. Mana semutnya banyak lagi. Gatal-gatal kakiku digigitnya. Cepat-cepat aku turun.

Sesampainya dibawah kubantu Bondan memasukkan sisa petai yang berserak. Sambil bekerja Bondan menyuruhku memakan petai itu. Cuaca yang terik menyebabkan perut keroncongan juga.

“Kau makanlah petai ini, biar cepat mati cacing di dalam perut Kau,” ujar Bondan.

Tanpa menjawab kuambil petai yang disodorkan Bondan. Kubuka kulitnya, terlihat buahnya yang kecil berwarna hijau muda. Entah berapa banyak buah petai yang dibutuhkan kalau ingin kenyang memakannya. Kulihat Bondan juga memakan petai itu. Rakus sekali dia.
“Gimana, enak gak?” tanya Bondan.

Aku mengangguk. Rasanya lumayan juga. Entah doyan, entah lapar!

Selesai memasukkan semua petai ke dalam kantong plastik, kami pun pulang. Jalan yang harus ditempuh lewat kuburan cina lagi.

“Kita lewat jalan lain saja,” pintaku kepada anak itu.

“Ada, tapi banyak ular!” jawab Bondan santai.

Tanpa melihat aku ia terus berjalan. Aku tentu saja cepat-cepat mengikuti langkahnya. Kalau aku tahu jalan lain yang aman, aku tinggalkan dia!

Sampailah kami di kuburan cina yang tadi dilewati. Suasana sekitar sepi.

Sejak kejadian ditakut-takuti Bondan saat pergi tadi, aku benar-benar jadi penakut melintas di jalan dekat kuburan cina itu. Bulu romaku bergidik. Padahal hari terang benderang.

Mataku awas sekali-sekali melihat ke tengah areal kuburan cina. Di bawah pohon kamboja tua yang tadi aku lihat ada sesosok tubuh berjongkok dan berjubah hitam, tak lagi tampak di sana. Entah kemana pergi orang itu. Alam benar-benar hening.

Sampailah kami di depan gerbang kuburan cina.

Dari balik tembok gerbang kuburan yang tinggi itu, tiba-tiba muncul sesosok tubuh tinggi jangkung, memakai jubah hitam. Wajah seorang kakek tua yang pucat. Kepalanya tak tertutup jubah. Rambutnya putih panjang. Wajahnya penuh benjolan. Kedua bola matanya tajam menatap kami.

Bondan dan aku terkejut. Jantungku berdegup kencang. Wajahku pucat. Itukah hantu hidup?

Kakek tua itu tak bergeming. Di tangannya memegang sapu lidi bertangkai panjang. Bondan tak bercakap. Agaknya dia takut juga.

“Ampun, Engkong... Ampun...” tiba-tiba Bondan bersuara keras, minta ampun kepada orang yang dipanggilnya engkong itu. Itulah Engkong Xian yang disebut Bondan tadi. Sepertinya kakek itu marah. Mungkin saja waktu Bondan lari menakuti aku tadi terdengar olehnya kalau anak itu menyebut hantu kepada Engkong Xian. Lalu sekarang ditunggunya kami di gerbang kuburan.

Terbayang di benakku kalau-kalau Engkong Xian menangkap kami lalu mengikat kami di salah satu batang pohon kamboja di tengah kuburan cina. Tubuhku menggigil membayangkan itu. Peluh mengucur deras di tubuhku.

Tiba-tiba Engkong Xian berdehem. Suara dehemannya terdengar berat.

“Oe olang kulang ajal ya!” tiba-tiba Engkong Xian bersuara. Suaranya gagap. Gagang sapu di tangannya diacung-acungkannya ke atas. Kami bertambah takut.

“Ampun Engkong, ampun...” kata Bondan lagi. Aku lihat anak bongsor itu menggigil juga karena takut. Celananya basah. Dia kencing di celana!

Takut kalau-kalau Engkong Xian mengejar kami, Bondan duluan kabur meninggalkan aku. “Ampun Engkong.... Ampun... Gak diulang lagi... kapok...!” teriaknya sambil berlari kencang.

Tentu saja aku kabur juga lari sekuat tenaga mengejar Bondan. Engkong Xian hanya berjalan beberapa langkah saja ke badan jalan seolah hendak mengejar. Itu saja sudah membuat kami lari tunggang langgang. Bondan sudah sangat jauh larinya. Aku ngos-ngosan mengejarnya.

Fuihhh... kuburan cina yang menyeramkan. Menyeramkan karena ada Engkong Xian di sana. Tapi aku kira Engkong Xian orang baik, gara-gara diledek hantu saja oleh Bondan lalu dia marah.

Yang pasti aku sudah sampai di rumah. Aku tak bertemu Bondan lagi sore itu. Dia langsung pulang ke rumahnya.

Sekantong petai yang aku bawa pulang kuperlihatkan kepada ibu. Ibu tersenyum-senyum melihat hasil bawaanku.

“Dari mana kau seharian?” kata ibu.

“Diajak bondan mencari ini, Bu,” jawabku.

“Banyak sekali petainya.”

Aku tersenyum. Soal kejadian di kuburan cina tadi tidak aku ceritakan kepada ibu. Tapi membayangkan itu wajahku menjadi pucat juga.

Petai itu aku makan sedikit-sedikit. Cukup mengenyangkan.

Keesokan harinya, aku berlari kencang menuju kakus di belakang rumah. Kakus itu dibawah pohon kapuk. Jangan bayangkan kakus kami seperti di rumah-rumah orang kaya di kota yang berlantai keramik. Tidak. Kakus yang dibuat bapak cuma galian lubang di tanah, lalu ditutup dinding goni beras persegi empat setinggi pinggang orang dewasa. Tak beratap. Di kakus itulah aku buang hajat. Baunya minta ampun. Sebab banyak makan petai seperti saran Bondan, entah berapa ekor cacing bergeliat-geliat mendesak keluar duburku. Aku ketakutan melihat cacing yang bersarang di perutku sendiri. Cacingnya besar-besar dan menggelikan! (bersambung)

Catatan: Novel ini belum pernah dipublikasikan. Pertama di Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun