Aku pun sudah penat di atas dahan petai. Mana semutnya banyak lagi. Gatal-gatal kakiku digigitnya. Cepat-cepat aku turun.
Sesampainya dibawah kubantu Bondan memasukkan sisa petai yang berserak. Sambil bekerja Bondan menyuruhku memakan petai itu. Cuaca yang terik menyebabkan perut keroncongan juga.
“Kau makanlah petai ini, biar cepat mati cacing di dalam perut Kau,” ujar Bondan.
Tanpa menjawab kuambil petai yang disodorkan Bondan. Kubuka kulitnya, terlihat buahnya yang kecil berwarna hijau muda. Entah berapa banyak buah petai yang dibutuhkan kalau ingin kenyang memakannya. Kulihat Bondan juga memakan petai itu. Rakus sekali dia.
“Gimana, enak gak?” tanya Bondan.
Aku mengangguk. Rasanya lumayan juga. Entah doyan, entah lapar!
Selesai memasukkan semua petai ke dalam kantong plastik, kami pun pulang. Jalan yang harus ditempuh lewat kuburan cina lagi.
“Kita lewat jalan lain saja,” pintaku kepada anak itu.
“Ada, tapi banyak ular!” jawab Bondan santai.
Tanpa melihat aku ia terus berjalan. Aku tentu saja cepat-cepat mengikuti langkahnya. Kalau aku tahu jalan lain yang aman, aku tinggalkan dia!
Sampailah kami di kuburan cina yang tadi dilewati. Suasana sekitar sepi.
Sejak kejadian ditakut-takuti Bondan saat pergi tadi, aku benar-benar jadi penakut melintas di jalan dekat kuburan cina itu. Bulu romaku bergidik. Padahal hari terang benderang.