Tentu saja aku kabur juga lari sekuat tenaga mengejar Bondan. Engkong Xian hanya berjalan beberapa langkah saja ke badan jalan seolah hendak mengejar. Itu saja sudah membuat kami lari tunggang langgang. Bondan sudah sangat jauh larinya. Aku ngos-ngosan mengejarnya.
Fuihhh... kuburan cina yang menyeramkan. Menyeramkan karena ada Engkong Xian di sana. Tapi aku kira Engkong Xian orang baik, gara-gara diledek hantu saja oleh Bondan lalu dia marah.
Yang pasti aku sudah sampai di rumah. Aku tak bertemu Bondan lagi sore itu. Dia langsung pulang ke rumahnya.
Sekantong petai yang aku bawa pulang kuperlihatkan kepada ibu. Ibu tersenyum-senyum melihat hasil bawaanku.
“Dari mana kau seharian?” kata ibu.
“Diajak bondan mencari ini, Bu,” jawabku.
“Banyak sekali petainya.”
Aku tersenyum. Soal kejadian di kuburan cina tadi tidak aku ceritakan kepada ibu. Tapi membayangkan itu wajahku menjadi pucat juga.
Petai itu aku makan sedikit-sedikit. Cukup mengenyangkan.
Keesokan harinya, aku berlari kencang menuju kakus di belakang rumah. Kakus itu dibawah pohon kapuk. Jangan bayangkan kakus kami seperti di rumah-rumah orang kaya di kota yang berlantai keramik. Tidak. Kakus yang dibuat bapak cuma galian lubang di tanah, lalu ditutup dinding goni beras persegi empat setinggi pinggang orang dewasa. Tak beratap. Di kakus itulah aku buang hajat. Baunya minta ampun. Sebab banyak makan petai seperti saran Bondan, entah berapa ekor cacing bergeliat-geliat mendesak keluar duburku. Aku ketakutan melihat cacing yang bersarang di perutku sendiri. Cacingnya besar-besar dan menggelikan! (bersambung)
Catatan: Novel ini belum pernah dipublikasikan. Pertama di Kompasiana.