Mohon tunggu...
Muhammad Solihin
Muhammad Solihin Mohon Tunggu... Guru - Seorang pemimpi dan Pengembara kehidupan

Hidup adalah cerita dan akan berakhir dengan cerita pula. muhammad solihin lentera dunia adalah sebutir debu kehidupan yang fakir ilmu dan pengetahuan. menapakin sebuah perjalanan hidup dengan menggoreskan cerita kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Guru Honorer "Brondol Sawit" agar Dapur Tetap Ngebul

18 Mei 2020   07:06 Diperbarui: 18 Mei 2020   07:09 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
photo: https://sawitplus.co/ 

Dimasa pandemik yang tidak menentu kapan berakhirnya ini membuat masyarakat harap-harap cemas. Rakyat Indonesia bertanya-tanya, kapan berakhirnya pandemik ini.

Sudah hampir tiga bulan virus Corona mampu merubah siklus kehidupan masyarakat Indonesia. Kehadiran Covid 19 banyak membawa  petaka bagi masyarakat.

Pemutusan hubungan tenaga kerja dimana-mana. Pengangguran dan kejahatan meraja lela dalam dunia pendidikan pun terasa imbasnya. Banyak guru honorer yang tidak terbayarkan honornya lantaran tidak mengajar maksimal.

Guru honorer sekolah akan mendapatkan honor mengajar bedasarkan jam real kehadiran, terlebih lagi jika guru tersebut mengajar pada sekolah swasta dengan jumlah siswa sedikit. 

Itulah yang dialami Asrol salim seorang guru honorer sekolah swasta di kabupaten Paser. Pada kesempatan ini, ia menceritakan kisahnya agar bertahan hidup dalam pandemik Corona ini.

"Sekarang menjadi seorang guru itu enak, gaji besar dan banyak liburnya." Ungkapan itu sering terdengar ditelinga Asrol. Tidak dapat dipungkiri, hal itu  memang benar adanya. Dibanding tahun 1990-an, kesejahteraan guru saat ini memang lebih terjamin. Terlebih karena adanya tunjangan sertifikasi. Namun itu hanya guru yang berstatus pegawai negeri.

Saat ini guru pegawai negeri sipil bisa bernafas lega, Pemerintah benar-benar memperhatikan kesejahteraan gurunya dengan mengalokasikan anggaran 20%  untuk pendidikan dari dana APBN. Tapi sayang, hal itu tidak berlaku untuk guru Non PNS atau Guru bukan pegawai negeri sipil (GBPNS).

Guru honorer hanya bisa gigit jari ketika mendengar rekan kerjanya (guru PNS) telah dicairkan tunjangan sertifikasinya. Rasa sedih dan iri tentu akan terbesit dalam hati guru honorer. Padahal secara tanggung jawab kerja tidak ada pembeda.

Telah begitu banyak janji dan wacana pemerintah memperbaiki kesejahteraan guru honorer, tapi nyatanya nasib mereka masih begini-begini saja. Walau sudah bertahun-tahun mengabdi sebagai guru honorer.

Tahun ini, Bertepatan pada hari sabtu tanggal 02 Mei 2020 peringatan hari guru nasional digelar. Tentu pelaksanaanya berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pastilah tidak semeriah seperti tahun sebelumnya. Hal itu lantaran pemerintah terfokus dalam menghadapi pandemik virus Corona yang semakin menggila.

Apakah dengan memperingati hari pendidikan nasional akan merubah kesejahteraan guru honorer? Tanya asrul dalam hati. Mimik wajahnya terbesit kekesalan.

Bahkan statmen masyarakat yang pernah terdengar ditelinga Asrol. "Menjadi guru itu semakin menderita maka semakin berjasa dan pahalanya semakin berlimpah".  Mungkin karena berakarnya gambaran penderitaan seorang guru dijaman dulu hingga terbentuk brand menjadi guru itu harus hidup kere.

Tentu kita masih ingat lagu Iwan Fals yang berjudul "Oemar Bakrie" yang gajinya selalu dikebiri. Tapi hal itu tidak berlaku untuk guru PNS. penghasilan guru pegawai negeri sipil saat ini sudah lumayan tinggi.

Di berlakukanya peserta didik belajar dirumah oleh pemerintah tentu sangat mempengaruhi penghasilan Asrol Salim. Kini Asrol harus memutar otak, bagaimana solusi agar dapur tetap ngebul dan kesehatan tetap terjaga dari paparan virus Corona. Maka Ia putuskan untuk mencari tambahan kerja dengan kembali kealam (back to nature). 

Maksudnya adalah ia mencari kerja sampingan dengan mengais rezeki disela sela tanggung jawabnya sebagai  guru honorer di masa pandemik ini dengan kembali menjadi buruh panen kelapa sawit.

Asrol mencari penghasilan tambahan dengan cara "Brondol". apa itu brondol?

Kata brondol tentu sangatlah asing ditelinga kita. Karena di dalam kamus besar bahasa Indonesia kata "brondol" tidak ada ditemukan artinya.  Brondol berasal dari bahasa daerah (jawa) artinya terlepas atau tercabuti. 

Maka arti "brondol sawit" adalah mengumpulkan buah sawit yang terlepas dari tandannya. Buah kelapa sawit berupa biji yang terlepas dari tandan sawit disebut "brondol sawit"  

Asrol tinggal di kabupaten Paser. Kabupaten ini merupakan penyumbang defisa Negara pada sektor perkebunan. Kabupaten paling selatan propinsi Kalimantan Timur ini merupakan daerah penghasil buah kelapa sawit dan minyak kelapa sawit disebut coconut palm oil (CPO).

Luas lahan perkebunan kelapa sawit dikabupaten ini adalah 181.503,25 Hektar. Hampir 40% perekonomian masyarakatnya mengandalkan hasil kebun kelapa sawit.

Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah yang dialami Asrol. Sebagai guru honorer sekolah tentu penghasilan tidak mencukupi kebutuhan hidup. Ironisnya lagi, Ia pun tidak memiliki kebun kelapa sawit. Karena untuk membeli lahan kebun kelapa sawit harus merogoh kocek seharga 150-200 Juta per kapling (2 Hektar).

Maka solusi agar Asrol tidak mati gaya dan mati kelaparan ditengah pandemik ini, Asror pergi ke hutan (lahan sawit) bekerja sebagai buruh panen buah kelapa sawit dan mencari brondol buah kelapa sawit yang terhambur di tanah.

Buah sawit yang brondol (terlepas) diperbolehkan diambil oleh pekerja,  pemilik lahan tidak akan melarangnya.

Harga buah brondol sawit sangat menggiurkan saat ini.  Harga buah kelapa sawit brondol dijual kepengepul Rp1300/kilo. Artinya, jika Asrol dalam satu hari mampu mengumpulkan brondol sawit  sebanyak satu karung ukuran 50Kg, maka Asrol bisa membawa uang untuk keluarganya sebesar Rp. 65.000, tentu jauh lebih besar penghasilan "brondol sawit" ketimbang mengajar sebagai seorang guru.

Itulah kisah Asrol guru honor yang harus memutar otak mencari tambahan penghasilan ditengah pandemik ini. Bagi guru yang senasib sama dengan Asrol teruslah memutar otak mencari solusi bagaimana mempertahankan hidup agar dapur tetap ngebul. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun