Setelah usai pemakaman, aku kembali kerumah. Ada rasa penyesalan yang mendalam atas kepergian ayah. Aku menyesal telah meninggalkannya selama ini. Mengapa aku meninggalkan ayah seorang diri. Pekikku dalam hati. Tetes air mata penyesalan ini tidak dapat ku hentikan, terus mengalir di pipi. Aku memang manusia egois, pekikku dalam hati. Â
Ba'da isya. Aku masuk kamar ayah. Suasana di dalam kamar tidak banyak berubah. Masih ada gitar yang tergantung di dinding kamar, photo ibu yang terbingkai rapi. Gambar ibu terlihat cantik di photo itu. Gambar itu diambil  saat ibu masih muda, tentu saat masih pacaran dengan ayah. Di dinding kamar bagian selatan ada photo bung Karno, proklamator negeri ini yang memang menjadi idola ayah.
Tapi ada sesuatu yang baru, dipojok ruangan sebelah kanan, ada bingkai lukisan besar yang ditutup kain hitam. Aku pun penasaran. Ku hampirin lukisan besar itu dan ku buka kain penutupnya. Perasaan ku membuncah kembali ketika melihat lukisan itu.Â
Tangisku ambyar tak mampu kubendung. Dilukisan itu terlihat aku dan ibu. Aku dirangkul oleh ibu. Ibu tersenyum bangga dan terlihat cantik dengan menggunakan baju khas jawa berbalut kain jarik. Sedangkan aku menggunakan jas putih persis seorang dokter. Ada tulisan singkat di lukisan itu. Aku tentu bisa menebak. Ini pasti tulisan ayah. Gumamku dalam hati. aku hapal benar tulisan tangan ayah. Tulisannya rapi dan indah.
"Sayangku, maafkan aku. Aku tidak mampu mewujudkan impianmu"
Tak terasa air mata ini mengalir kembali, aku tidak dapat menahan perasaan penyesalanku. Aku baru paham, mengapa ayah memaksaku untuk kuliah jurusan kedokteran. Karena almarhum ibu mengamanahkan ayah agar kelak ketika aju dewasa, aku harus menjadi seorang dokter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H