Mohon tunggu...
Muhammad Solihin
Muhammad Solihin Mohon Tunggu... Guru - Seorang pemimpi dan Pengembara kehidupan

Hidup adalah cerita dan akan berakhir dengan cerita pula. muhammad solihin lentera dunia adalah sebutir debu kehidupan yang fakir ilmu dan pengetahuan. menapakin sebuah perjalanan hidup dengan menggoreskan cerita kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lukisan Terakhir Ayah

13 Mei 2020   08:10 Diperbarui: 13 Mei 2020   09:44 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini genap dua tahun aku meninggalkan rumah. Masih terbesit dalam ingatanku ketika aku perang mulut dengan ayah. Aku ribut besar dengannya lantaran berbeda keinginan. 

Ayahku menginginkan aku melanjutkan kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta, mengambil jurusan kedokteran. Sedangkan aku ingin kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Aku berkeinginan menjadi seorang senimam sedangkan ayah inginya aku menjadi dokter. Adu argument antara aku dan ayah berhenti ketika Pintu rumah kubanting sekuat tenaga dan aku pun pergi meninggalkan rumah.

Dirumah, Kami hanya tinggal berdua saja, Aku dan Ayah. Ibuku telah dahulu meninggalkan kami. Beliau meninggal saat aku duduk di bangku sekolah dasar kelas empat. Penyakit jantung yang telah membawa ibu hingga merenggut nyawanya.

Aku masih ingat kenangan bersamanya. Ia selalu memakaikan aku baju dokter saat acara karnafal 17 agustus. Senyumnya akan terlihat sumringah ketika aku memakai jas putih ala dokter itu.

Dahulu ibu pernah berkata kepadaku "Kakak jika sudah besar nanti, kakak harus jadi dokter, biar bisa merawat ibu dan ayah ketika sakit." diusapnya rambutku dengan menujukan rasa cinta.

"Ah, ibu ada-ada saja! Buat apa jadi dokter kalau hanya membuat ibu sakit" celotehku sembari memandah wajah ibu.

Dalam diriku ada bakat seni. darah seniman memang mengalir dalam diriku. Jiwa seni itu berasal dari ayah. Lelaki paruh baya yang selama ini banyak mengajarkan aku alat musik. Ayah  memang seorang penyanyi dan musisi  handal. Ia juga seorang pelukis kretif dan pencipta lagu ternama di negeri ini.

Tapi aku heran, mengapa ia menghalang-halangi aku untuk mengikuti langkah karirnya menjadi seorang seniman. Ayah tidak mengijinkan aku mengikuti jejak dirinya sebagai seorang seniman.

 Hingga detik ini aku tidak pernah mendengar secara langsung alasan dari ayah mengapa melarangku. Berkali-kali aku mendesaknya, meminta alasan mengapa ia tidak berkenan jika aku  terjun secara professional di dunia seni. Ayah  tetap saja membisu tidak menjawab sekata patah pun.

Aku tinggalkan rumah tanpa membawa bekal apapun dan tanpa sepeser uang di kantong. Hanya baju dan celana di badan serta gitar tua pemberian ayah. Gitar itu diberikan ayah ketika aku duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun